Untuk Perantau yang Pulang Kandang

Di Blog ini saya coba nulis semacam catatan harian, seperti yang saya temukan dalam blog lainnya. Mau ikut ikutan. Ini tulisan ketiga saya. Ini dia:

Saya punya teman baik. Dari keluarga Minang, tapi lahir dan besar di Jakarta. Dia merantau di Johor. Sudah puluhan tahun. Darah Minang memang terkenal trahnya marantau. Sekali saya pernah singgah di ”padepokannya”. Orangnya kesufi sufian. Senang Filsafat dan Tasawuf. Alumni pesantren Gontor dan Ushuluddin UIN (hehehe dia gak ikutan JIL rupanya. Masuk ke kotak varian lain.).

Kalau ke Jakarta, dia pasti mampir ke rumah saya. Kadang nginap. Kalaupun tidak mampir, dia pasti ngasih kabar kalau dia sedang di Jakarta. Entah kenapa, katanya, ada ”tarikan” untuk ketemu saya kalau ke Jakarta. Hmmm saya juga tidak tahu. Tentunya saya seneng saja punya teman baik yang memang baik. Kadang kami juga berkirim kabar via email. (Saya tidak perlu cerita kenal dimana dan kapan. Kepanjangan nanti).

Sekitar setahun lalu dia bilang mau pulang kampung. Mau bikin pesantren dengan nama Surau. Ada tanah seluas sekitar 2 hektar. Wakaf/hibah dari ibunya. Rupanya dia serius dengan niatnya itu. Ceritanya, dia sudah keliling ke beberapa pesantren. Untuk belajar dan menimba pengalaman dari para kiyai dalam meminpin pesantren. Dari pesantren kampung sampai yang kota. Dia hanya ketawa ketika ada temannya ngajak dan menawarkan untuk bikin Sekolah Unggulan dengan sistem asrama (broarding school). Lebih ”menjanjikan” tentunya, di sekitar Jakarta. Bukan itu yang dia cari, katanya. Dia pengen bikin Surau di kampung. Lembaga pendidikan surau yang dalam sejarahnya sempat melahirkan ulama dan tokoh kenamaan.

Awal bulan lalu dia mampir sebentar ke rumah saya. Mau terus ke acara lain, katanya. Cuma numpang shalat maghrib dan sempat ngobrol sambil makan malam. Di warung padang, tentunya. hehehe. Saya cuma ngasih oleh2, buku Surau, karangan Azyumardi Azra, orang Minang yang cerdas, mantan rektor UIN.

Kemarin dia bilang, kalau dia sudah bikin blog/website dan tolong kasih masukan. ini weblognya

Ya... beberapa usul dan saran saya sampaikan via email. Kemudian saya susul dengan email lainnya. Ini dia:

Assalamu'alaikum

Sukurlah kalau masukan dari saya untuk Web anda, ternyata anda amini. Sekedar ngasih usul dan saran emang gampang kan. Semua juga bisa.

Saya mau cerita. Hal sepele. Tapi entah kenapa saya jadi ingat Anda. Saya menemukan web/situs yang unik dan misterius. Ini dia:
cabik lunik. sekadar mencatat manusia dan kemanusiaan
ini dia/

Kerja dokumentasi yang perlu ketekunan dan keseriusan. Bekerja di ranah sepi. Dan bisa dipastikan peminatnya juga terbatas. Karena itu si pemiliknya pun tidak merasa perlu menampilkan diri. Niatnya mungkin hanya ingin berbagi dan memberi.

Yang pasti, dia meyakini bahwa pekerjaannya memang perlu dan bermakna. Tidak sia sia. Betapapun sederhananya. Dan pasti bukan satu satunya. Banyak situs/lembaga lain mengerjakan hal serupa. Dia hanya tampil untuk memberikan pilihan. Mungkin hanya sebagai pelengkap. Tapi memang harus ada yang telaten menekuninya. Maka jadilah situs tak bertuan dan sunyi.

Situsnya tanpa ornamen dan asesoris. Desainnya sederhana sekali. Terkesan dingin. Dengan warna dasar coklat tanah. Tapi datanya selalu aktual. Kliping dari beberapa koran Ibu Kota dan Daerah. Hampir seharian saya menikmatinya. Dan ada kerinduan untuk kembali. Ada semangat, dedikasi, dan tentunya juga dana, minimal untuk connect ke internet. Dia pake web, dengan blog gratisan. Mungkin karena dananya terbatas. Yang pasti dia punya stamina yang luar biasa. Menjaga kontinuitas, konsistensi (adwamuha) meski mungki dinilai sepele dan tak seberapa. Sikap dan laku asketisme yang kian langka (zuhud tea).

Entah kenapa saya jadi teringat dan membandingkan dengan situs Anda. ini. Situs Anda yang juga tak bertuan, dan sederhana. Pemiliknya pun tidak mau/malu malu untuk tampil. Lalu saya juga jadi melihat situs yang sunyi itu adalah Surau Anda. Perlu ketekunan mendirikan dan merawatnya, di tengah kesunyian.

Agak samar saya mencium bau sufistik. Dunia yang anda gemari. Yang dingin di permukaan. Tanpa ada riak yang menampilkan gejolak dari kedalaman ruang hatinya. Tapi jika menengok ke dalam. Di sana ada gelegak yang menghentak dan meronta. Dahaga pencari cinta yang merindukan Sang Kekasih. Tak ada lagi yang dia cari. Tak ada lagi yang dia pinta. Tak ada lagi yang dia harap. Bahkan tak ada lagi yang dia miliki. Baginya, semua adalah DIA. Sang Kekasih, yang kadang mendekat dan kadang menjauh.

Di lereng gunung Merapi, si pengelana itu pun menepi. Ia mulai membangun tenda. Dia ingin berteduh dibalik pepohonan. Di tepi hamparan tanah ladang yang terbentang. Dengan secawan asa dia ingin saling mengisi dan saling berbagi. Tak ada yang dia harap. Selain kehadiranNya untuk senantiasa bersama dalam halaqah beserta mereka yang sama sama mau ikut menepi. Menapaki ladang harapan akan Rahmat serta IlmuNya yang terhampar luas. Sejauh mata memandang. Berbatas langit yang tak bertepi.

Perjalalan masih panjang. Kita memang tengah menepi. Sekedar transit. Hanya sesaat.

Hehehe. saya jadi ngelantur. Saya ikutin aja apa kata hati. Asal tulis.

Selamat tahun baru Hijriah. Selamat hijrah menuju tanah harapan. Seperti janji Allah untuk nabinya yang teguh dan tegar, Musa a.s. Mendirikan "tenda peradaban", seperti ”rumah puisi” yang baru dibangun Taufiq Ismail, di Tanah Datar. Tak begitu jauh dari lokasi Surau Anda.
Saya jadi ingat, Taufiq Islamil dalam salah satu puisinya bilang, kira2 begini: Negeri yang centang perentang ini masih bisa tegak berdiri karena doa mereka. Mustadh'afin yang rintihannya menggetarkan Arsy. Karena antara mereka dan Tuhannya tak lagi berjarak.
Hmmm merekalah yang akan Anda sapa. Di lereng Gunung Merapi.
Oke Buya (hehehe, Anda udah pas dipanggil Buya, mantan buaya). Selamat bernawaitu dengan bismillah.

Wassalam


Tapi yang jelas jangan anggap enteng/sepele Web untuk jadi ajang/media promosi (dengan orientasi dakwah tentunya). Potensinya masih terbuka untuk dieksploitasi. Suatu hari, saya bayangkan, situs anda akan jadi tempat orang untuk menepi. Mungkin sekedar transit. Melepas dahaga. Lalu akan kembali, untuk saling berbagi.

Walladzina jahadu fina, lanahdiyannahum subulana, wainnallaha lama’al muhsinin.
Tentang Surau, diantaranya saya menemukan dua tulisan di sini:
Kembali ke Nagari, Kembali ke Surau
di sini

Surau, dan Kerisauan Orang Minang
di sini

2 komentar:

mencari islam mengatakan...

@film asia

Saya udah nengok blog kamu. hebat. dukumentatif dan "wah".

Terima kasih udah mampir ke blog saya.

mencari islam mengatakan...

Teman saya, si perantau itu membuat balasan email sebagai berikut:

Situs orang lain yang buat.
Orang lain yang bayar.
dan orang lain juga yang ....
menjadikannya ruang transit.

Diruang itu
semua orang tidak perlu memperkenalkan diri,
kadang nama pun tidak.

Anda pernah ngak dalam perjalanan panjang singgah di ruang transit.
Walaupun sebentar tapi cukup berkesan.
Ruang transit bagaikan duduk diantara dua sujud.
sesaat tapi dituntut tuma'ninah.


Ini balasan email dari saya::

Ruang transit bagaikan duduk diantara dua sujud.
sesaat tapi dituntut tuma'ninah.

Hmmmmm

Membuat saya tercenung beberapa saat:

Dari sujud kembali ke sujud
Dari Dia menuju Dia
Duduk diantara sujud membuat rytmenya dinamik
Tuma’ninah menjadikannya harmoni dan khusyuk,
Lalu berakhir dengan salam
Untuk semua
Insya Allah.

Heeeeeeeee,

Masalahnya, saya sering kali keenakan duduk
Tuma’ninahnya kelamaan,
Lupa atau ogah untuk kembali sujud.
Akibatnya pun mudah diduga
Tidak akan bertemu dan berakhir dengan ”salam”.
Juga, mana mungkin bisa menebar ”salam” bagi sesama.