Tuhan Sembilan Senti

Berikut saya turunkan puisi Taufiq Ismail tentang rokok.
Puisi yang menghangatkan suasana di saat MUI berfatwa tentang rokok.

Tuhan Sembilan Senti

Oleh Taufiq Ismail


Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara- perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu- na’im
sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya
apakah ada buku tuntunan cara merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk
orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,

Negeri kita ini sungguh nirwana
kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat
bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok,

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter
tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun
menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut
dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul
saling menularkan HIV-AIDS sesamanya,
tapi kita tidak ketularan penyakitnya.

Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya
mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus,
kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya
ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu,
bisa ketularan kena,

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil,
pertandingan bulutangkis,
turnamen sepakbola
mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik,
sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat
dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh,
dengan cueknya,
pakai dasi,
orang-orang goblok merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu- na’im
sangat ramah bagi orang perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup
bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
duduk sejumlah ulama terhormat merujuk
kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.
Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka
terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
ke mana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka
memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.

Inikah gerangan pertanda
yang terbanyak kelompok ashabul yamiin
dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz.
Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan,
Di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum.
Min fadhlik, ya ustadz.

25 penyakit ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi).
Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok.
Patutnya rokok diapakan?
Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz.
Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.

Mohon ini direnungkan tenang-tenang,
karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol,
sudah ada babi,
tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
Lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan,
jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu,
yaitu ujung rokok mereka.

Kini mereka berfikir.
Biarkan mereka berfikir.

Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap,
dan ada yang mulai terbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.

Korban penyakit rokok
lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas,
lebih gawat ketimbang bencana banjir,
gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan,
berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
diiklankan dengan indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana
dalam nikmat lewat upacara menyalakan api
dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,

Rabbana,
beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

Mobil Ditawar, HP pun Lenyap

Ini kasus kriminal. Modusnya cukup unik. Saya ceritakan di sini dengan harapan agar tidak menimpa Anda. Atau ya.. sekedar obrolan ringan. (Tapi bisa jadi juga, malah ada yang merasa mendapat ide, lalu mempraktikkannya, hehehe. Enggak lah ya). Ini dia kisahnya.

Teman saya (sebut saja TS) mau menjual mobil. Ia pun memasang iklan di koran. Besok paginya, ada peminat yang datang. Penampilannya terkesan rapi, berkemeja lengan panjang terkancing, dan bicaranya sangat santun. Setelah meneliti mobil dengan serius, dia minta izin untuk mencoba mobilnya di jalan raya. TS pun menemani si calon pembeli, karena khawatir kalau mobilnya langsung dibawa kabur, seperti sering terjadi.
"Mengesankan," kata TS, "dia pake bismillah dulu waktu mau nyetir." Sambil ngetes mobil, tawar menawar berlangsung, sampai deal mengenai harganya. Kemudian mobil pun menuju ATM terdekat. Dia mau ngasih uang muka, sebagai tanda jadi pembelian mobil. Dengan alasan mencari tempat teduh, mobil pun diparkirnya agak jauh dari ATM. Sementara si calon pembeli ke ATM untuk ngambil uang, TS menunggu di mobil.

Setelah sekitar 10 menit menunggu, TS mulai gelisah. Si calon pembeli belum juga muncul. Kemudian, TS pun tak sabar lagi. Dia mencari si calon pembeli di ATM. Ternyata tidak ada. Nanya ke yang sedang antri pun gak ada yang tahu. TS mulai curiga. Ia langsung pulang ke rumahnya.

“Tadi orang yang mau beli mobil ke sini?” tanya TS ke anaknya.
“Iya,” jawab anaknya.
“Ngapain dia.”
“Katanya disuruh ayah ngambil HP.”
“Laptop yang di meja tamu kemana?”
“Lagi dipake Mama di kamar.”
“Ah, untung dipake Mama.”
“Kenapa emang?”
“Dia penipu. Maling.”
“Walah......”

Menimbang Keberadaan MUI dan Fatwa Ulama

Postingan ini kelanjutan dari yang sebelumnya tentang "Obral Fatwa MUI" (di sini). Yaitu komentar saya terhadap acara To day’s Dialogue di Metro TV pada 4 Februari 2009, malam. Akhir-akhir ini kritik dan hujatan terhadap MUI, bukan hanya terhadap fatwanya, malah terhadap keberadaan MUI dan perlu tidaknya fatwa ulama.

Sekilas tentang MUI

Dalam situs resmi MUI dijelaskan:
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.

Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math'laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.

Dari musyawarah tersebut, dihasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. Zu’ama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah "PIAGAM BERDIRINYA MUI", yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.

Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:

1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti).
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al-ummah).
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid.
5. Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar.

Demikianlah sekilas tentang Majelis Ulama Indonesia. Uraian selengkapnya dapat dilihat di sini

MUI = Ulama Istana?

Saya kira betul apa yang disinyalir Moqsith, dalam acara dialog di Metro TV, pembentukan MUI dinilai sebagai media komunikasi pemerintahan Soeharto terhadap ummat Islam. Bahkan lebih dari itu, saat MUI berdiri, ada yang menilai sebagai model rekayasa sosial Soeharto untuk melegitimasi kebijakan pemerintah. Ulama MUI dinilai sejenis “ulama istana” sebagai tukang stempel kebijakan penguasa.

Keraguan terhadap keberadaan MUI saat itu dapat ditepis/dieliminir, karena Buya Hamka yang tampil sebagai ketuanya. Dan memang terbukti, Buya Hamka memilih mudur dari jabatan ketua umum MUI (pada 21 Mei 1981) ketimbang merubah fatwa MUI saat itu yang mengharamkan “Natalan Bersama” bagi ummat Islam. Fatwa itu rupanya tidak sejalan dengan pandangan pemerintah yang tengah mengkampanyekan toleransi beragama versi pemerintah (Menteri Agama saat itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara). Hamka memberikan contoh sikap independen ulama (MUI) dalam mengambil keputusan fatwa. (Tentang Hamka, lihat di sini).

Saya kira, tidak pada tempatnya jika alasan untuk membubarkan MUI hanya karena MUI bikinan Orde Baru (Soeharto). Kita sadari tidak semua bentukan Orde Baru jelek dan harus dibuang. Sekedar contoh, program Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang tidak dikembangkan karena bikinan Soeharto, sekarang mulai disadari pentingnya untuk melayani kesehatan masyarakat. Terutama setelah banyak kasus bayi kurang gizi yang tidak terpantau. Demikian juga dengan program Keluarga Berencana. Pepatah bilang, meskipun keluar dari dubur ayam, kalau telor, bermanfaat juga.

Fatwa MUI/Ulama tidak Dipatuhi Ummat?

Belum ada survey serius yang memantau seberapa besar tingkat kepercayaan dan kepatuhan ummat Islam terhadap fatwa MUI, termasuk tentang sertifikasi label halal yang selama ini ditangani MUI.

Saya pribadi merasa terbantu dengan label halal tersebut. Merasa mudah dan aman dalam mengkonsumsi makanan yang halal, tidak usah susah payah menilai komposisi kandungan suatu produk (seperti yang diusulkan Moqsith) yang seringkali tidak saya fahami dan hurufnya kecil sekali. Dengan lebel halal, produsen/pengusaha menjadi sadar dan terkontrol untuk memperhatikan kehalalan produknya dan menghargai ummat Islam sebagai (calon) konsumen terbesarnya.

Memang sepintas kita bisa lihat beberapa fatwa MUI tidak diindahkan, seperti tentang haramnya bunga bank dan SMS berhadiah (yang jelas-jelas judi) di televisi. Tapi tampaknya ini bukan hanya gejala pada fatwa MUI, juga dialami pada fatwa Bahsul Masail NU yang memfatwakan haramnya acara infotainment yang dinilai ghibah (menggunjing). Mungkin juga dialami lembaga fatwa atau ulama dalam kasus lainnya.

Kalaupun fatwa ulama disinyalir tidak efektif, tidak dipatuhi ummat atau anggota ormas Islam, tidak lantas harus menghentikan atau menutup adanya fatwa Ulama. Atau langsung menilai bahwa fatwa ulama tersebut salah atau tidak pantas. Dengan logika semacam itu, kita mempertanyakan: Apakah kalau di suatu tempat orang pada malas dan tidak mau lagi shalat berjamaah, lantas masjid itu harus ditutup? Tidak benar kan? Tentunya lebih salah lagi jika terus mengambil langkah untuk “mendelet” (menghapus) kewajiban shalat karena dipandang sudah tidak disukai, tidak diperlukan atau tidak sesuai lagi dengan kehendak/selera perkembangan zaman. Kewajiban kita, adalah membuat program supaya ummat rajin shalat, dan lebih utama dengan berjama’ah, apakah dengan program penataan desain dan perlengkapan masjidnya biar nyaman, melakukan penyadaran (dakwah) tentang shalat sebagai salah satu kewajiban utama dalam Islam, dsb. Tidak pada tempatnya juga jika ketentuan hukum Islam (syari'at) yang qoth'i/pasti/jelas harus "didelet" karena alasan hasil sebuah survey. Malah menjadi tantangan bagi pemuka agama untuk melakukan sosialisasi dan internalisasi ajaran Islam (berdakwah) dengan lebih bijak dan baik.

Demikian juga dengan MUI, atau fatwa ulama pada umumnya. Jika Fatwa tidak lagi didengar, sebaiknya kita melakukan evaluasi ke dalam. Bermawas diri. Kenapa suara ulama tidak lagi didengar, bahkan dihujat dan dicaci-maki (sebagian) ummat? Adakah wibawa moral atau keilmuan ulama sudah sedemikian menurun? Apakah memang sebagai imbas dari prilaku masyarakat sekarang yang bertambah sangar dan beringas? Apakah metode/cara pengambilan keputusan dalam berfatwa selama ini kurang baik? Kenapa ummat tidak lagi peduli dengan aturan ketentuan hukum dalam beragama? Apakah kurang sosialisasi sehingga kesadaran agama (keislaman) ummat sudah sedemikian rapuh? Bisa juga karena memang fatwa tidak benar, kurang pantas atau bias pada kepentingan kelompok tertentu saja atau memihak selera penguasa/sponsor? Dan pertanyaan lainnya.

Saya kira kalau ada fatwa MUI atau fatwa lembaga sosial Islam lainnya dipandang tidak tepat atau salah, akan lebih baik kalau membuat fatwa tandingan. Kalau MUI dipandang tidak kredibel, lebih baik bagi kalangan yang anti MUI membuat lembaga fatwa tandingannya. Semakin banyak pilihan, saya kira semakin baik. Biarkan ummat memilihnya di “pasar bebas”. Bukankah masyarakat kini sudah semakin terbiasa dan toleran dengan perbedaan pendapat antar Mazhab, setidaknya 4 Mazhab yang kita kenal dan diakui kalangan Sunny (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali). Bukankah diantara prinsip utama dalam berdemokrasi adalah memberikan ruang seluas-luasnya bagi setiap orang untuk berpendapat, tentunya juga untuk berfatwa dalam urusan agama. Sekalian mendidik masyarakat untuk terbiasa berdiskusi, berdebat, dan menghargai perbedaan. Bukan dengan menghujat dan memaki tanpa argumen.

Buruk muka, MUI digusur?

Untuk negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, saya kira sudah selayaknya Indonesia punya lembaga fatwa semacam MUI. Kalaupun MUI masih banyak kekurangannya, bukan lantas dibubarkan. Sikap paling bijak adalah berupaya memperbaiki atau menyempurnakannya. MUI juga memang perlu dikritisi dan dikontrol. Lembaga semacam MUI bisa menjadi “payung”, fungsi koordinasi, fasilitator atau mediasi dari beberapa lembaga fatwa dan kalangan cendekiawan Muslim yang bertebaran dan beragam di Indonesia. Tapi jangan sampai buruk muka, MUI digusur. Kalaupun sekarang pengurus MUI dinilai tidak sebaik atau seindependent Buya Hamka, bukan MUI nya yang harus dibubarkan, tapi mungkin kepengurusan atau sistemnya yang harus direfisi atau direformasi.

Kenapa lembaga sosial keagamaan (Islam) punya lembaga fatwa? Karena memang dalam Islam ada ketentuan syar’i dalam menjalani kehidupan ini. Dan para pemeluk Islam yang taat ingin menjalani kehidupannya sesuai ketentuan syari’at. Di Muhammadiyah ada Lembaga Tarjih; NU punya Bahsul Masail, dan PERSIS punya Dewan Hisbah.

Kalau ada pengamat Islam merasa ummat Islam sekarang tidak perlu lagi fatwa ulama, saya kira sebaiknya dilihat dulu, ummat yang mana? Secara sekilas dapat kita amati, dalam beberapa acara interaksi tayangan ceramah Islam di televisi atau radio, kita sering mendengar pemirsa yang bertanya (minta fatwa) tentang hukum sesuatu yang kedengarannya "sepele": apakah kalau (maaf) kentut di dalam air, atau masih makan ketika imsak, membatalkan puasa? Pertanyaan semacam itu memang terkesan naif, tapi jangan-jangan lapisan terbesar dari pemeluk Islam Indonesia adalah mereka yang terkesan naif tersebut. Mereka yang sering dinilai sebagai Islam Tradisional atau Ortodok. Mereka yang menjalani kehidupannya yang sederhana ingin sesuai dengan aturan syari’at Islam yang simple dan praktis. Mereka adalah kalangan “Ummi Maktum”, orang buta dan terkesan papa yang membuat Rasulullah ditegur Allah karena mengacuhkannya (lihat al-Qur'an, surat ‘Abasa/80). Allah mengingatkan orang semacam Ummi Maktum itulah yang sebenarnya punya ketulusan dalam berIslam, yang lebih butuh pengajaran, wejangan atau fatwa dari Rasulullah. Di sisi Allah, Ummi Maktum ternyata lebih mulya dan perlu disapa, dibanding para pemuka, kalangan elite dan intelektual Quraisy yang hatinya telah mengeras menolak Islam. Kalangan yang tengah manggung di pentas arena peradaban modern yang kadang membuat kita silau pada tampilan luarnya yang artificial. Wallahu’alam.

Obral Fatwa MUI

Judul postingan di atas, adalah tema acara “To Day's Dialogue” Metro TV pada 4 Februari 2009, malam. Tayangan lengkapnya bisa dilihat di sini:
http://www.metrotvnews.com/todaysdialogue/topics.php?id=2309&idp=34

Tema dialog tersebut dengan jelas menampilkan sikap penolakan Metro TV terhadap Fatwa MUI. Tak heran jika seorang teman berkomentar, acara dialog itu lebih mengesankan “mengadili” Ketua MUI, Kiyai Ma’ruf Amin, dihadapan tiga pemuda yang kontra terhadap fatwa dan bahkan terhadap keberadaan MUI, yaitu: Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) yang juga dosen Universitas Paramadina, Abd. Moqsith Ghazali; Aktifis Intelektual Muda Muhammadiyah, Abd. Mukti; dan Sekjen Gerakan Pemuda Anshor, Malik Haramain. Tak kalah gencarnya moderator dialog, Kania, yang mengajukan pertanyaan tandas kepada Pak Kiyai.

Menarik untuk mengomentari acara dialog tersebut, karena mewakili suara dari yang kontra terhadap fatwa MUI dan bahkan terhadap keberadaan MUI.

Alasan yang mengada ada?

Moqsith Ghazali mengajukan argumen penolakannya terhadap fatwa MUI tentang rokok:
1. Bukan hanya rokok yang bisa haram, makanan apapun bisa haram jika mendatangkan madharat/penyakit, seperti gula yang kalau kebanyakan bisa menyebabkan sakit gula.
2. MUI kurang peka terhadap masalah sumber pendapatan masyarakat, karena fatwa itu akan menggulung/mematikan pabrik rokok dan karyawannya, juga petani tembakau.

Argumen keberatan terhadap fatwa rokok ini ditambah oleh Abd. Mukti:
3. Banyak mahasiswanya di tempat dia ngajar yang mendapat beasiswa dari perusahaan rokok, dan Mukti, katanya, suka menonton tayangan sepak bola di televisi berkat sponsor pabrik rokok.

Saya ingin mengomentari argumen saudara Moqhsit dan Mukti yang terkesan hanya mencari cari, atau mengada-ada serta kurang mendasar.

Pertama, memang semua makanan dan perbuatan apapun kalau berlebihan akan mendatangkan penyakit atau mudharat. Sikap berlebihan atau melampauai batas ini dalam Al-Quran disebut “israf” yang dilarang.
Dalam al-Qur’an ditegaskan: “Janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S Al-Baqarah (2): 190). Lihat juga Al-A’raf (7): 55.
Dalam konteks makanan, kita temukan dalam Qur’an, surat Thaha (10): 81 “Makanlah diantara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaanKu menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa kemurkaanKu, maka sesungguhnya binasalah ia.”

Bahaya rokok, seperti halnya khamar (minuman yang memabukkan) karena jenis baranganya yang memang membahayakan, bukan karena berlebihan dalam mengkonsumsinya (tentunya, apalagi kalau berlebihan). Bisa membahayakan kesehatan pribadi dan orang lain. Disamping juga dinilai sebagai perbuatan mubazir/sia-sia dengan membelanjakan uang untuk hal yang tidak bermanfaat.

Kedua, memang rokok mendatangkan manfaat, seperti halnya minuman keras sebagai kegiatan ekonomi masyarakat, dan perjudian yang mendatangkan pemasukan bagi kas negara atau untuk kegiatan sosial seperti sepak bola yang pernah dipraktikkan KONI. Dalam hal ini Al-Qur’an juga mengakui akan manfaat dari perbutan terlarang tersebut, seraya menegaskan bahwa madharatnya lebih besar dari manfaatnya. Karena itu harus ditinggalkan. Firman Allah:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar (minuman yang memabukkan) dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Q.Surat Al-Baqarah (2): 219.

Dalam literatur hukum Islam kita mengenal bahwa minuman keras sudah membudaya di masyarakat Arab saat itu (dan tentu menjadi sumber mata pencaharian/ekonomi masyarakat). Karena itu ayat Al-Quran turun secara bertahap dengan terlebih dulu bersifat peringatan akan bahaya/madharat khamar, sebelum dengan tegas mengharamkannya. Seperti dijelaskan Kiyai Ma’ruf, ulama berbeda pendapat dalam hal rokok, ada yang mengharamkan dan ada yang berpendapat hanya makruh. Kalau sekarang MUI memfatwakan makruh pada rokok, kata Kiyai Ma’ruf adalah sebagai sikap arif dan bijak MUI karena rokok masih menjadi mata pencaharian banyak orang di Indonesia. Dalam hal ini ada yang menilai fatwa MUI tentang rokok sebagai fatwa setengah hati. Jadi apakah ada kemungkinan fatwa rokok akan ditingkatkan menjadi haram, seperti yang difatwakan di Arab Saudi dan Malaysia?

Saya kira, sangat naif jika ketentuan syar’i (ketetapan hukum), bisa dieliminir atau ditolak karena alasan nafkah atau sebagai sumber ekonomi yang menguntungkan. Dalam postingan saya sebelumnya, di sini, saya bilang:

Masalah rokok? Ya kalau Anda perokok dan merasa tersinggung dengan fatwa itu, ya bisa jadi marah. Terlebih lagi bagi mereka yang menggantungkan periuk nasinya dari rokok, seperti pabrik rokok dan pegawainya, petani tembakau, pedagang, kocek negara dari cukai, dsb. Cuma ya saya kira kurang pada tempatnya juga kalau kita menolak fatwa MUI tentang rokok bukan karena pertimbangan hukum (syar’i), tapi karena kepentingan (duniawi) semata. Setidaknya, bilang aja begini, “Fatwa MUI itu benar, cuma saya belum bisa menjalankannya. Harap maklum.” Tidak benar kan jika Anda memandang halal pelacuran karena alasan nafkah atau kesenangan semata.

Fatwa MUI memang tidak mengikat, hanya himbauan moral. Pada akhirnya semua terpulang pada Anda. Bukankah pertanggungjawaban Anda dengan Tuhan adalah urusan pribadi Anda nanti. Fatwa MUI hanya sebagai salah satu pilihan bagi Anda mengenai ketentuan hukum suatu masalah yang Anda temui atau tengah Anda hadapi. Wallahu 'alam

Dialog Metro TV malam itu, juga mengulas tentang manfaat tidaknya Fatwa MUI dan layak tidaknya keberadaan MUI. Hal ini akan saya ulas dalam tulisan/posting berikutnya.

Cara Pandang Pro-Kontra Fatwa MUI


Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali mengeluar fatwa. Kali ini ada tiga fatwa yang mendapat sorotan publik, yaitu tentang: sikap tidak memilih (golput) dalam Pemilu, tentang rokok, dan yoga. Seperti fatwa sebelumnya yang memutuskan Ahmadiyah sebagai sesat, fatwa MUI kali inipun menuai pro dan kontra. MUI dikecam, dihujat, dicaci, dan usulan untuk membubarkan MUI pun kembali diteriakkan. Kerasnya sikap yang menolak, bisa diduga akan memancing sikap keras pula dari yang pro. Perang argumen dan ayat serta hadits pun kerap kita saksikan akhir akhir ini, semenjak rancangan undang-undang tentang pornografi digulirkan.

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas materi fatwa. Saya tidak punya kapasitas untuk menilai. Terlebih lagi, MUI pun belum meng-SK-kan fatwanya, sehingga pertimbangan hukum dari fatwa tersebut belum bisa dilihat.

Ulama, MUI, dan Fatwa

Dalam KBBI (kamus) dijelaskan, ulama adalah “orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam”. Karena berkaitan dengan urusan agama, maka nilai-nilai keagamaan pun harus tercermin dalam dirinya. Dengan kata lain, selain berilmu, ulama juga harus berakhlak, punya wibawa moral sebagai orang baik, terpercaya, dan amanah. Ulama adalah tempat orang bertanya tentang hukum suatu masalah yang dia hadapi, tentang apa saja. Karena itulah maka ulama disebut sebagai pewaris para nabi (warasatul anbiya), dalam posisinya sebagai pemutus perkara hukum. Sebagai penerus Nabi, ulama juga diharapkan menjadi semacam "pengawal moral" yang bisa diteladani. Tentu saja, ulama berbeda dengan Nabi. Karena Nabi dibimbing wahyu ilahi sehingga punya otoritas kebenaran mutlak dalam memutus perkara hukum. Sedangkan produk fatwa ulama yang bersifat ijtihadi masih bisa diperdebatkan dan memungkinkan untuk dikoreksi. Malah Nabi mengingatkan ada jenis ulama su’, yaitu orang yang dengan pengetahuan agamanya malah membuat fatwa yang menyesatkan atau menjual agama. Bisa diterjemahkan, ulama su' sebagai ulama keblinger. Ada juga sebutan “ulama istana”, yaitu ulama yang tugasnya melegitimasi (baca: tukang stempel) pandangan atau kebijakan penguasa dengan alasan/dalil agama. Ulama yang terkooptasi dan menghamba pada kekuasaan/kepentingan sponsor. Sebagaimana intelektual, pemihakan ulama adalah pada "kebenaran". Info tentang MUI selengkapnya dapat dilihat di Web MUI

Lembaga sosial keagamaan (Islam) juga punya lembaga fatwa. Karena memang dalam Islam ada ketentuan syar’i dalam menjalani kehidupan ini. Seperti di Muhammadiyah ada Lembaga Tarjih; NU punya Bahsul Masail, dan PERSIS punya Dewan Hisbah.

Jadi, tugas MUI dalam mengeluarkan fatwa sebenarnya sangat sederhana. Ia melakukan tugas “keulamaannya” dalam menjawab permohonan fatwa (pandangan hukum) terhadap suatu masalah hukum. Produk fatwanya pun tidak mengikat dan tanpa sanksi apapun jika tidak dijalankan atau diamalkan. Lebih bersifat himbauan moral.

Anda masih ingat, ketika Bahsul Masail NU memfatwakan haram acara semacam info tainment di televisi, karena termasuk ghibah (menggunjing) yang dilarang dalam Islam. Demikian juga fatwa MUI yang menghamkan bunga Bank. Ternyata hanya rame sebentar, lalu semua berjalan seperti sedia kala, masing-masing kembali dengan dunia dan pandangannya. Tentunya ada banyak contoh fatwa lainnya yang tidak berjalan atau dipatuhi ummat. Jadi tugas lembaga fatwa hanya mengeluarkan fatwa, selanjutnya terserah Anda.

Jadi kalau Anda mendengar ada fatwa dari MUI, lalu menurut Anda tidak benar, ya cuekin aja. Selesai. Anda dijamin bisa tetap melenggang dengan aman tanpa ancaman dan hukuman karena menolak fatwa MUI. Pertanggungjawaban Anda adalah urusan Anda pribadi dengan Tuhan. Lalu kenapa diributkan?

Dalam hal ini, kita bisa membedakan fatwa yang menyangkut urusan pribadi dan yang bersinggungan dengan masalah/kepentingan sosial, termasuk politik. Fatwa di ranah publik inilah yang bisa menimbulkan/mengundang masalah dan menjadi debat publik, malah kadang mengundang konflik.

Sebuah fatwa MUI bisa kita dilihat dari beberapa segi:
1. Materi/masalah yang difatwakan.
2. Produk fatwanya,
3. Argumen atau dalil yang mendasari lahirnya fatwa,
4. Dampak dari fatwa bagi kehidupan pribadi, sosial, ekonomi, politik dsb

Kita juga bisa melihat latar belakang materi yang dibahas. Anda bisa amati, apakah ada motif politik atau kepentingan tertentu yang melatarbelakanginya. Adakah motif ini mempengaruhi argumen/dalil yang dijadikan dasar pertimbangan menetapkan fatwa, dan produk fatwanya.

Cara Pandang Menilai Fatwa

Dalam menilai fatwa, akan sangat tergantung pada cara pandang seseorang dan mungkin juga pada faktor kepentingan pribadi/kelompoknya. Coba kita lihat. Seperti kita ketahui, secara garis besarnya, ada dua pandangan yang bersebrangan dan hasilnya penilainnya pun tentu akan bertolak belakang:

(1) Pandangan “Islam liberal” yang melihat masalah agama adalah urusan pribadi, sedangkan urusan publik harus diatur negara dengan hukum publik yang memayungi semua aliran/kelompok/kepentingan.
(2) Pandangan "Islam kaffah", yang melihat agama mengatur seluruh aspek kehidupan, baik pribadi, sosial dan politik, dengan menjunjung tinggi sikap toleran pada perbedaan pendapat dalam bermazhab dan beragama.

Bagi yang berpandangan pertama, ya lembaga semacam MUI (juga Departemen Agama) harus dibubarkan. Tidak diperlukan. Tapi kalau Anda berada pada pandangan kedua, ya lembaga fatwa semacam MUI diperlukan, karena menurut pandangan ini aturan dalam keberagamaan adalah meliputi segala aspek kehidupan manusia. Ada ungkapan bahwa untuk urusan berhadas saja ada aturannya dalam Islam, apalagi dalam menyangkut politik yang berkaitan dengan hajat hidup banyak orang dan bagi kelangsungan negara tercinta ini.

Rokok Makruh atau Haram?

Masalah rokok? Ya kalau Anda perokok dan merasa tersinggung dengan fatwa itu, ya bisa jadi marah. Terlebih lagi bagi mereka yang menggantungkan periuk nasinya dari rokok, seperti pabrik rokok dan pegawainya, petani tembakau, pedagang, kocek negara dari cukai, dsb. Cuma ya saya kira kurang pada tempatnya juga kalau kita menolak fatwa MUI tentang rokok bukan karena pertimbangan hukum (syar’i), tapi karena kepentingan (duniawi) semata. Setidaknya, bilang aja begini, “Fatwa MUI itu benar, cuma saya belum bisa menjalankannya. Harap maklum.” Tidak bener kan jika Anda memandang halal pelacuran karena alasan nafkah atau kesenangan semata.

Demikian juga dengan Yoga. MUI mengharamkan Yoga kalau menjadi bagian dari ritual agama tertentu di luar Islam. Saya kira fatwa ini hampir mirip fatwa “natalan bersama” yang diharamkan MUI waktu dipimpin buya Hamka.

Kalau Anda berpandangan semua agama adalah sama dan benar semua, ya fatwa tentang Yoga pasti Anda tolak dan dipandang tidak benar. Wong MUI nya aja sudah dianggap gak layak ada, apalagi produk fatwanya. Tapi kalau pandangan Anda bahwa hanya Islam sebagai agama yang benar, ya fatwa tentang Yoga itu relevan dan baik untuk menjaga keimanan/aqidah Anda dalam berIslam.
Jika Anda berpandangan "Islam Kaffah", maka fatwa MUI tentang Golput Haram (jika ada caleg yang dipandang baik dan mampu memikul amanah) patut diperhatikan, karena aktifitas apapun dalam kehidupan ini tak lepas dan sebagai bagian dari agama. Maka pemilu pun selain sebagai peristiwa negara, juga sebagai peristiwa keagamaan yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan: kenapa memilih, kenapa tidak memilih (golput) dan kenapa milih partai ini atau tokoh itu, semua akan diperhitungkan.
Tapi ada juga yang termasuk dalam barisan "Islam Kaffah" tapi "menolak" fatwa MUI tetang Golput dalam Pemilu, karena sudut pandangnya berada "di luar pagar". Mereka menolak sistem pemerintahan demokrasi (tentunya juga sistem pemilu), karena dipandang tidak sesuai dengan syari'at Islam. Di antara yang berada dalam posisi pandangan semacam ini adalah Hizbut Tahrir dan Majlis Mujahidin Indonesia.

Itu saja yang bisa saya utarakan. Tulisan ini akan saya akhiri dengan obrolan saya dengan teman yang sempat baca postingan ini.

Teman, “Lha sikap kamu sendiri bagaimana?”
Saya, “Soal rokok, saya lebih ekstrim dari MUI yang cuma bilang makruh. Bagi saya, rokok haram hukumnya, seperti yang difatwakan di negara lain.”
Teman, “Alasannya ?”.
Saya, “Rokok perusak kesehatan yang dahsyat. Merokok sama dengan menghisap racun, sama dengan menganiaya diri sendiri. Perokok juga suka mengganggu dan merugikan orang lain sebagai prokok pasif. Dana untuk rokok juga bisa dibilang membakar uang, tak ada manfaatnya, jadi termasuk kategori perbuatan mubazir. Padahal al-Qur’an menegaskan bahwa orang yang suka bermubazir ria itu temannya syetan yang dilaknat dan terkutuk. Uang untuk rokok lebih baik dibelanjakan untuk hal bermanfaat dan bermakna, atau untuk bersedekah. Masih banyak yang memerlukan bantuan.”
Teman, “Kalau kamu jadi ketua MUI akan mengharamkan rokok? lebih gawat lagi dong dampaknya?”
Saya, “Kalau saya jadi ketua MUI, fatwa pertama yang akan bahas adalah tentang hukum menghujat dan memaki Ulama. ”
Teman, "Hahaha, itu sih udah pasti, fatwanya haram."

Sampai di sini, otak saya terasa buntu, mulut pun asem. Mau beli rokok dulu. Harap maklum. Wassalam.

Jangan Lupa Kuburan (Kiat Berburu Rumah Baru)



Apa yang Anda cermati jika Anda sedang berburu untuk membeli rumah baru? Tentunya segala sesuatu yang berkaitan dengan kenyamanan, keamanan, dan harganya yang terjangkau kocek. Anda akan mempertimbangkan segi lokasinya yang strategis, desain yang bagus, bahan bangunan yang berkualitas, sarana jalan yang memadai. Hal lainnya: masalah sanitasi, sarana peribadatan, pendidikan, fasilitas umum dan fasilitas khusus, seperti taman, sarana olah raga dan sarana bermain. Lalu, harus aman dari banjir serta bebas polusi yang di luar batas toleransi. Pokoknya yang terbayang adalah hunian yang nyaman untuk menyongsong kehidupan Anda dan keluarga yang lebih baik.

Adakah diantara pemburu rumah baru yang menanyakan fasilitas kuburan? Hehehe, saya kira jangankan nanya, kepikiran pun tidak. Mungkin dianggap aneh kalau nanya kuburan, atau malah akan jadi bahan tertawaan. Mau menyongsong kehidupan di masa depan dengan rumah pribadi (meskipun nyicil) kok malah nanya kuburan. Ini bisa dikatagorikan jenis pertanyaan orang pesimis yang kalau dilontarkan akan bikin harga diri Anda melorot.

Sampai sekarang, saya belum pernah melihat dan mendengar ada developer yang mempromosikan hunian barunya dengan iming iming fasilitas kuburan yang luas dan mudah dijangkau. Atau developer yang menyelenggarakan undian dengan hadiah "rumah masa depan", berupa sebidang tanah kuburan, lengkap dengan biaya perawatan jenazah, plus batu nisan dari batu pualam kelas wahid. Padahal kuburan termasuk salah satu kebutuhan pokok. Ayo, Anda pernah dengar enggak? Kalau ada, hubungi saya dengan bukti yang akurat dan otentik. Saya akan ngasih hadiah sebuah kuburan yang siap huni (dengan syarat harus langsung Anda huni). Kalau developer pake ngomongin kuburan, alih alih menarik minat pembeli, malah akan dijauhi karena yang terbayang adalah makhluk sejenis hantu, pocong, kuntilanak, genderuwo dan sejenisnya yang gentayangan di perumahan tersebut. Atau yang terbayang di benak calom pembeli, dia akan cepat mati jika berdomisili di sana. Maka kayanya menjadi semacam pantangan dalam mempromosikan perumahan: jangan sekali kali bicara kuburan. Akan menakutkan.

*****

Nah ini contoh kasus yang perlu Anda renungkan. Di tahun kedua saya menempati rumah BTN (Bangunan Tak Normal), sore hari ada bayi yang meninggal. Di luar dugaan, pengelola kuburan yang letaknya tidak jauh dari perumahan kami, menolak menguburkan jenazah yang mungil itu. Alasan mereka, tanah kuburan itu adalah tanah wakaf untuk penduduk asli/pribumi di sana. Warga perumahan rupanya dipandang sebagai “pendang haram”. Sempat terjadi adu mulut yang sengit. Ayah si bayi pun sempat sesumbar mau menguburkan jasad anak tercintanya di halaman rumahnya. “Siapa yang mau melarang. Ini tanah saya,” katanya dengan emosi dan siap tempur, eh.....siap menggali. Beruntung ada tetangga berjiwa diplomat yang bisa meloby pengurus kuburan. (Kalau Anda curiga, saya juga tidak tahu, apakah dia ber-KKN, pake pelicin semacam uang rokok, atau uang kuburan. Berbaik sangka aja ya.). Penguburan pun berlangsung dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat singkatnya. Ya, maklum cuma bayi mungil yang hanya butuh sejumput kecil lahan kuburan.

Rupanya ada beberapa kasus serupa yang tak kalah serunya. Katanya, dalam obrolan antar tetangga, pernah ada jenazah yang “diusung" ke depan kantor pemasaran developer yang belum menyiapkan lahan kuburan. Developer dan pihak konsumen sama sama tidak kepikiran kalau akan ada yang meninggal terlalu cepat dan mendadak, tidak minta izin atau ngasih tahu dulu jauh jauh hari. Kalau sudah begitu, ya harap maklum saja, kejadian ini diluar perkiraan dan tidak diharapkan semua pihak. Dan jelas ini juga kesalahan calon pembeli yang lalai kalau malaikat maut selalu menguntitnya kemana pun dia melangkah. Jika waktunya tiba, dan jatah helaan nafasnya sudah habis, tidak perduli siapapun dan dalam keadaan apapun, nyawa pun akan direnggutnya. Bisa jadi, malaikat maut akan menyergap Anda, di malam pertama menempati rumah idaman yang sekian lama Anda impikan. Bukan rumah idaman yang Anda huni, tapi kuburan yang terlintas pun tidak dalam impian.

Jadi, jangan lupa kuburan ya. Kata ustad, jangan lupa kematian, biar hidup jadi bener. Bisakah kita buat kesimpulan, kalau kita tidak ingat kuburan waktu beli rumah, berarti hidup kita belum bener. Lupa akan mati.

Tuhan yang (juga) Menghukumi dan Memihak

“Tak ada Tuhan di Gaza,” demikian judul sebuah tulisan dalam bentuk puisi di sebuah blog. Penulisnya bersikap netral dalam kasus Gaza. Kenapa? Inilah bagian dari puisinya:

tak ada Tuhan di Gaza
karena bagaimana Dia bisa ada
jika semua melulu bersengketa
semua penuh murka

maka bagaimana tuhan bisa ada?

Dia hadir di rasa cinta
menjaga dan mau kerjasama
mencari temu dan terus berusaha
tak letih apalagi mengorbankan jiwa

tak ada tuhan di Gaza
hanya kebencian yang dipelihara
agama ditunggangi dendam membara
dari rasa gagal mengolah negara

Demikian sebagian dari pusinya yang menjelaskan kenapa dia bersikap netral. (kalau mau baca selengkapnya, tanya saja sama Mbah Google ya).

Mari kita diskusikan pandangan yang terkesan sangat humanis semacam ini.

Kita bisa “melihat” Tuhan dalam arti: (1) Tuhan sebagai konsep ajaran agama, dengan segala FirmanNya. (2) Tuhan dalam persepsi pribadi pemeluknya. (Tuhan yang hadir dalam diri personal). Lalu, (3) Tuhan sebagaimana dihayati dalam bingkai komunalitas (kondisional dan situasional), Juga (4) Tuhan yang diidealkan dalam diri personal atau komunal. (Mungkin juga ada katagori lainnya). Dalam konteks inilah Allah dalam hadits Qudsi bilang, “Aku adalah sebagaimana dugaan (imajinasi) hambaKu terhadap Aku”. Religiusitas manusia dalam menghayati dan mempersepsi Tuhannya memang beragam.Demikian juga kita bisa bedakan antara agama sebagai ajaran (ideal) dan agama sebagai sejarah (agama yang hadir dalam realitas, yang dipraktikkan). Selalu ada jarak antara yang ideal dan realitas yang aktual.

“Tak Ada Tuhan di Gaza”, adalah dalam konteks Tuhan pada 2 dan 4 sesuai persepsi penulisnya. Tuhan dalam persepsi si penulisnya, dan yang diharapkan untuk "hadir" di Gaza, adalah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang serta Penuh Cinta Damai. Karena itu maka ia bilang "Tidak ada Tuhan di Gaza", sebab yang ada di sana hanyalah amarah, konflik, dan peperangan. Harapan si penulis tersebut tentu sangat baik dan mulya, seperti yang juga jadi harapan kita semua, yaitu tercapainya perdamaian abadi di Gaza.

Tapi di sini ada yang perlu "diluruskan”. Selain Maha Pengasih dan Penyayang, Tuhan juga Maha Menghukumi dan Maha Adil. Ya... Tuhan menghukum mereka yang melanggar aturan-Nya dan melampaui batas. Tuhan tidak hanya menjanjikan sorga, tetapi juga neraka. Bahkan Allah mengingatkan bahwa Dia: Syadidul 'Iqab (Maha dahsyat siksaannya). Dengan kata lain, Tuhan juga memihak dan kita tidak bisa melepas kacamata nurani dan moral/norma dalam beragama, bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan sebagai warga dunia. Ada yang hak dan yang bathil, salah dan benar. Lalu perlu aturan hukum dan pelaksananya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dengan otoritas dan kekuatan yang “memaksa”. Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), PBB dan Mahkamah Internasional adalah salah satu bentuk dari rumusan etika atau lembaga yang lahir dari kesepakatan warga dunia untuk memelihara perdamaian.

Bagaimana sebaiknya kita mempersepsikan Tuhan? Saya kira pengetahuan kita tentang Tuhan terbatas pada informasi dari Tuhan sendiri yang mengenalkan diriNya dalam kitab suci atau rujukan utama setiap agama. Dalam ajaran Islam, ya melalui al-Qur'an dan Hadits. Dalam literatur Islam kita mengenal "asma'ul husna" (nama nama Allah yang Indah) sebanyak 99 nama atau sifat Allah. Pengetahuan ini tentunya dalam konteks konsep Tuhan dalam ajaran Islam. Di sinipun kita temukan beragam pandangan dan tafsiran pada beberapa aliran/mazhab. Adapun bagaimana Tuhan sendiri "hadir" dalam diri kita, tentu saja sangat beragam sesuai dengan kapasitas dan keunikan masing masing personaliti setiap pemeluk. Rasulullah mengingatkan bahwa keimanan itu bisa bertambah dan berkurang (yazdadu wayanqus). Hubungan dan kesadaran kita tentang Tuhan adakalnya dekat, dan kadang jauh (seperti yang dilantunkan Bimbo).

Kembali ke masalah Gaza, teman wartawan yang pernah meliput perang di Libanon dan Palestina berturur, Palestina memang tanah harapan yang tercabik. Konfliknya multi dimensional. Senjata ada di mana mana. Sopir taksi yang dia tumpangi pun membawa senjata AK. Tembakan ke udara, kaya petasan saja, sebagai ungkapan amarah, lagi pesta, atau sekedar iseng. Sebagai legitimasi (pembenar) atas tindakannya, seseorang bisa menganasnamakan agama, tuhan, ideologi atau kepentingan dalam berperang. Dalam hal ini kita bisa menengok para nilai nilai kemanusiaan sebagai patokan. Karena Tuhan manapun dan nurani manusia selalu menyuarakan untuk berprikemanusiaan yang adil dan beradab.

Masalah kemanusiaan bersifat universal, lintas agama, etnis, bangsa, dan negara. Demo yang mengutuk Israel di berbagai belahan dunia (juga ketika Amerika menginvasi Irak) adalah suara nurani yang menghujat pembantaian Israel di Gaza. Ali Shari’ati dengan lugas menegaskan bahwa Allah bersama kaum yang tertindas (mustadh’afin), dan setiap Muslim harus memiliki kepedulian serta keberpihakan untuk membela mereka.

Israel adalah agresor, penjajah dan pembantai. Palestina adalah yang terampas dan terhempas dari tanah kelahirannya. Israel membantai warga sipil, wanita, dan anak-anak, menutup akses relawan dan bantuan kemanusiaan, menggunakan zat kimia yang terlarang dalam perang, mengabaikan himbauan PBB, dan kesadisan lainnya yang telah berulangkali dia lakukan.

Pantaskah kita bersikap netral? Apalagi jika sampai menjadi pembela Israel. Tuhan macam apa jika menjadi pembela dan menyertai penjajah serta pembantai macam Israel. Bahkan kalangan rahib Yahudi pun banyak yang menghujat Zionis Israel.

Rasulullah mengingatkan bahwa melawan kemungkaran dengan hati adalah selemah lemahnya iman. Lalu apa artinya keimanan kita jika hati kita tak terusik untuk melakukan perlawanan, pada bentuk kedhaliman, penindasan, dan pembantaian yang dilakukan Israel pada warga Palestina yang jelas dan nyata. Wallahu 'alam.

Para Perampok di Jalan Tuhan

Salam,
Ada tulisan bagus. Enak dibaca dan perlu. Dari Kang Jalal. Saya turunkan di sini. Hitung hitung hadiah tahu baru, tentunya bagi yang belum baca. Selamat menyimak.

Para Perampok di Jalan Tuhan
Oleh Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat

“Sects and Errors are synonymous. If you are a peripatetic and I am a Platonist, then we are both wrong, for you combat Plato only because his illusions offend you, and I dislike Aristotle only because it seems to me that he doesn’t know what he’s talking about”—Voltaire, Philosophical Dictionary.

“Aku tidak bisa melepaskan diri dari bayangan guruku. Ia masuk dalam mimpi-mimpiku. Pada suatu malam aku pernah terbangun. Aku duduk dalam lingkaran. Di situ ada guruku, Nabi Muhammad, Tuhan, dan Yesus. Guruku menyebutku Hafshah, salah seorang istri Nabi Muhammad. Aku pernah melihat Nabi Muhammad datang kepadaku; memanggilku dengan mesra. Pendeknya, kemudian terjadilah pergaulan suami-istri antara Hafshah dan Nabi Muhammad. Beberapa saat setelah itu, aku baru sadar bahwa Hafshah itu aku dan Nabi Muhammad itu adalah guruku itu,” Helen, bukan nama sebenarnya, mengadukan nasibnya kepadaku.

Helen sarjana dan profesional. Ia cerdas dan kaya. Ketika ia mulai tertarik pada hal-hal spiritual, kawannya membawanya ke pengajian tasawuf. Ia diperkenalkan kepada seorang ustad. Bukan ustad terkenal. Tampaknya ustad itu tidak mengisi pengajian umum. Ia memusatkan pengajarannya pada komunitas khusus dengan tema khusus. Di seluruh alam semesta, hanya dia yang mempunyai pengetahuan khusus, ilmu makrifat. Ia mau berbagi ilmu makrifat itu hanya kepada manusia-manusia pilihan yang ingin berjumpa dengan Tuhan. Dengan mengamalkan ritus-ritus tertentu—berzikir, berpuasa, dan bersemadi—Helen berhasil melihat Tuhan. Berkali-kali sesudah itu, ia mengalami “trans”. Ia bukan hanya berjumpa dengan Tuhan. Ia juga dapat berkencan dengan para nabi.

Makin “dalam” pengalaman rohaniahnya, makin bergantung dia kepada sang ustad. Helen yang cerdas kehilangan daya kritisnya ketika ia mendengar kalimat-kalimat gurunya. Ia berikan apa pun yang dimintanya, mulai waktu, uang, kendaraan, rumah, sampai kehormatannya. Ia sudah menjadi ‘sujet’ di hadapan juru hipnotis. Semua dilakukannya di bawah sadar, sampai ia disentakkan oleh salah satu kuliah psikologi. Sebuah buku dengan judul “Saints and Madmen” menyadarkan dia bahwa gurunya dan juga dia bukan orang suci, tapi orang gila. Ia bukan mengalami pengalaman rohaniah, tapi gangguan mental. Sayangnya, kesadaran itu muncul setelah ia kehilangan banyak.

Tak terhitung banyak orang seperti Helen. Manusia modern yang jenuh dengan materialisme gersang. Ia merindukan pengalaman rohaniah. Ada yang kosong dalam jiwanya. Kekosongan itu tidak bisa diisi dengan seks, hiburan, kerja, bahkan ajaran-ajaran agama yang dianut oleh kebanyakan masyarakat. Ia ingin ‘getting connected’ dengan Yang Ilahi. Ia sudah kecapaian dengan logika dan angka. Ia ingin meninggalkan dunia yang dingin dan kusam menuju alam yang hangat dan cemerlang. Ia ingin mendapat—sebut saja—pencerahan rohaniah. Ia tidak mendapatkannya dalam institusi-institusi agama.

Dalam kerinduan spiritual itu, muncullah guru. Ia menawarkan pengalaman rohaniah yang “instan”. Kalau kamu sudah kecapaian dengan logika dan angka, masuklah bersama guru ke dalam dunia rasa dan percaya. Bunuh rasionalitas dan tumbuhkan spiritualitas (seakan-akan keduanya bertentangan). Dengan memanipulasi ajaran-ajaran esoterik dalam setiap agama, guru menegaskan—sambil mengutip Rumi—”di negeri cinta, akal digantung”.

Kalau akal sudah digantung, terbukalah peluang bagi guru untuk memanipulasi pikiran para pengikutnya. Aku menemukan bahwa teknik-teknik menggantung akal yang dilakukan para guru itu sepenuhnya melaksanakan nasihat Dostoyevsky dalam “The Brother of Karamazov”: Ada tiga kekuatan, dan hanya tiga, yang dapat menaklukkan dan melumpuhkan semangat para pemberontak ini. Yang tiga itu ialah mukjizat, misteri, dan otoritas. Tentu saja hampir tidak ada di antara para guru itu yang membaca Dostoyevsky.

Mukjizat sebenarnya adalah kumpulan dari halusinasi, ilusi, dan delusi. Guru menciptakannya dengan “merusak” otak pengikutnya melalui ritual yang aneh-aneh. Salah satu teknik yang paling populer dan paling efektif adalah pengurangan waktu tidur (sleep deprivation), apalagi bila dibarengi dengan tidak makan (food deprivation). Dalam keadaan normal, otak kita mensintesiskan “pil tidur alamiah” sepanjang waktu bangun kita. Sesuai dengan ritme biologis, kita tidur pada waktu malam. Karena deprivasi tidur, pil tidur alamiah itu berakumulasi dan bermetabolasi menjadi produk-produk beracun. Lalu timbullah mula-mula gangguan mood—pergantian antara euforia dan depresi. Menyusul gangguan mata yang menimbulkan halusinasi (melihat cahaya dan benda-benda bergerak), delusi, dan puncaknya disorganisasi pikiran (sederhananya, gangguan jiwa). Seperti pengurangan tidur, guru juga menciptakan pengalaman rohaniah dengan upacara, seperti latihan masuk kubur, gerakan kolektif yang berulang-ulang, atau penggunaan obat-obat kimiawi. Murid mengira mereka mengalami pengalaman gaib. Ahli neurologi menyebutnya kerusakan otak (brain damage).

Karena pengalaman rohaniah yang mereka alami, mereka merasa dibawa ke alam gaib. Di sekitar kehidupan guru berkumpul berbagai misteri. Guru pemilik ilmu-ilmu yang sangat rahasia. Guru malah mengembangkan bahasa sendiri. Istilah-istilah agama diberi makna baru. Perjalanan bersama guru adalah perjalanan menyingkap tirai-tirai kegaiban. Murid tidak bisa menyingkap rahasia itu tanpa bimbingan guru. Seperti kata Dostoyevsky, dengan menggabungkan mukjizat, misteri, dan otoritas, bertekuklah jiwa-jiwa kritis ke kaki sang Pembawa Pencerahan.

Helen sekarang sadar bahwa ia telah jatuh kepada perampok di jalan Tuhan. Hati-hati, dalam perjalanan menuju pencerahan jiwa, Anda akan disabot oleh apa yang disebut Jean Marie-Abgrall sebagai Soul-Snatchers, para pencuri jiwa. Helen masih berjuang menyembuhkan luka-luka jiwanya; sebenarnya kerusakan dalam otaknya. Aku menganjurkan dia untuk berobat ke psikiater. Ia menolaknya.

Lama aku kehilangan Helen. Secara kebetulan, aku menemuinya dalam satu acara. Aku menanyakan mengapa ia tidak lagi mengontak aku. Ia menarik aku ke tempat sepi. Dengan muka yang penuh ketakutan, ia berbisik: gurunya sudah tahu bahwa ia telah melaporkan keadaannya kepadaku. Ia mendapat ancaman. Ia diperingatkan agar memutuskan semua hubungan dengan masyarakat di luar komunitasnya.

Bersamaan dengan hilangnya Helen, Juliet Howell, peneliti sufisme urban, muncul lagi di hadapanku. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, ia mewawancaraiku perihal tasawuf di masyarakat kota. Waktu itu aku menyelenggarakan kelas-kelas tasawuf di daerah elite. Kali ini ia bertanya tentang pengalamanku membina tasawuf. Ia juga bertanya tentang yayasan kajian tasawuf yang aku kelola. Aku bilang aku sudah tidak lagi berurusan dengan tasawuf. Ia bertanya tentang muridku yang paling “sufi”. Aku jawab,” Ia sudah mencapai makrifat setelah belajar dikuburkan hidup-hidup”.

Howell mendesak bagaimana caranya membedakan gerakan tasawuf yang benar dengan gerakan para perampok di jalan Tuhan. “Gunakanlah ukuran UUD dan UUS,” jawabku, “apabila Anda menemukan gerakan itu ujung-ujungnya duit atau ujung-ujungnya seks, Anda sudah disimpangkan dari jalan Tuhan. Ada dua juga yang membedakan saints dengan madmen: bila setelah mendapat pengalaman rohaniah, Anda merasa diri Anda rendah dan bergairah untuk menyebarkan kasih ke seluruh alam, Anda adalah orang suci. Bila Anda merasakan diri Anda lebih saleh daripada semua orang dan Anda hanya bergairah untuk mengasihi guru Anda, Anda adalah orang gila. Anda sudah masuk perangkap Soul-Snatchers. Gitu aja, kok repot!”.