Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali mengeluar fatwa. Kali ini ada tiga fatwa yang mendapat sorotan publik, yaitu tentang: sikap tidak memilih (golput) dalam Pemilu, tentang rokok, dan yoga. Seperti fatwa sebelumnya yang memutuskan Ahmadiyah sebagai sesat, fatwa MUI kali inipun menuai pro dan kontra. MUI dikecam, dihujat, dicaci, dan usulan untuk membubarkan MUI pun kembali diteriakkan. Kerasnya sikap yang menolak, bisa diduga akan memancing sikap keras pula dari yang pro. Perang argumen dan ayat serta hadits pun kerap kita saksikan akhir akhir ini, semenjak rancangan undang-undang tentang pornografi digulirkan.
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas materi fatwa. Saya tidak punya kapasitas untuk menilai. Terlebih lagi, MUI pun belum meng-SK-kan fatwanya, sehingga pertimbangan hukum dari fatwa tersebut belum bisa dilihat.
Ulama, MUI, dan Fatwa
Dalam KBBI (kamus) dijelaskan, ulama adalah “orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam”. Karena berkaitan dengan urusan agama, maka nilai-nilai keagamaan pun harus tercermin dalam dirinya. Dengan kata lain, selain berilmu, ulama juga harus berakhlak, punya wibawa moral sebagai orang baik, terpercaya, dan amanah. Ulama adalah tempat orang bertanya tentang hukum suatu masalah yang dia hadapi, tentang apa saja. Karena itulah maka ulama disebut sebagai pewaris para nabi (warasatul anbiya), dalam posisinya sebagai pemutus perkara hukum. Sebagai penerus Nabi, ulama juga diharapkan menjadi semacam "pengawal moral" yang bisa diteladani. Tentu saja, ulama berbeda dengan Nabi. Karena Nabi dibimbing wahyu ilahi sehingga punya otoritas kebenaran mutlak dalam memutus perkara hukum. Sedangkan produk fatwa ulama yang bersifat ijtihadi masih bisa diperdebatkan dan memungkinkan untuk dikoreksi. Malah Nabi mengingatkan ada jenis ulama su’, yaitu orang yang dengan pengetahuan agamanya malah membuat fatwa yang menyesatkan atau menjual agama. Bisa diterjemahkan, ulama su' sebagai ulama keblinger. Ada juga sebutan “ulama istana”, yaitu ulama yang tugasnya melegitimasi (baca: tukang stempel) pandangan atau kebijakan penguasa dengan alasan/dalil agama. Ulama yang terkooptasi dan menghamba pada kekuasaan/kepentingan sponsor. Sebagaimana intelektual, pemihakan ulama adalah pada "kebenaran". Info tentang MUI selengkapnya dapat dilihat di Web MUI
Lembaga sosial keagamaan (Islam) juga punya lembaga fatwa. Karena memang dalam Islam ada ketentuan syar’i dalam menjalani kehidupan ini. Seperti di Muhammadiyah ada Lembaga Tarjih; NU punya Bahsul Masail, dan PERSIS punya Dewan Hisbah.
Jadi, tugas MUI dalam mengeluarkan fatwa sebenarnya sangat sederhana. Ia melakukan tugas “keulamaannya” dalam menjawab permohonan fatwa (pandangan hukum) terhadap suatu masalah hukum. Produk fatwanya pun tidak mengikat dan tanpa sanksi apapun jika tidak dijalankan atau diamalkan. Lebih bersifat himbauan moral.
Anda masih ingat, ketika Bahsul Masail NU memfatwakan haram acara semacam info tainment di televisi, karena termasuk ghibah (menggunjing) yang dilarang dalam Islam. Demikian juga fatwa MUI yang menghamkan bunga Bank. Ternyata hanya rame sebentar, lalu semua berjalan seperti sedia kala, masing-masing kembali dengan dunia dan pandangannya. Tentunya ada banyak contoh fatwa lainnya yang tidak berjalan atau dipatuhi ummat. Jadi tugas lembaga fatwa hanya mengeluarkan fatwa, selanjutnya terserah Anda.
Jadi kalau Anda mendengar ada fatwa dari MUI, lalu menurut Anda tidak benar, ya cuekin aja. Selesai. Anda dijamin bisa tetap melenggang dengan aman tanpa ancaman dan hukuman karena menolak fatwa MUI. Pertanggungjawaban Anda adalah urusan Anda pribadi dengan Tuhan. Lalu kenapa diributkan?
Dalam hal ini, kita bisa membedakan fatwa yang menyangkut urusan pribadi dan yang bersinggungan dengan masalah/kepentingan sosial, termasuk politik. Fatwa di ranah publik inilah yang bisa menimbulkan/mengundang masalah dan menjadi debat publik, malah kadang mengundang konflik.
Sebuah fatwa MUI bisa kita dilihat dari beberapa segi:
1. Materi/masalah yang difatwakan.
2. Produk fatwanya,
3. Argumen atau dalil yang mendasari lahirnya fatwa,
4. Dampak dari fatwa bagi kehidupan pribadi, sosial, ekonomi, politik dsb
Kita juga bisa melihat latar belakang materi yang dibahas. Anda bisa amati, apakah ada motif politik atau kepentingan tertentu yang melatarbelakanginya. Adakah motif ini mempengaruhi argumen/dalil yang dijadikan dasar pertimbangan menetapkan fatwa, dan produk fatwanya.
Cara Pandang Menilai Fatwa
Dalam menilai fatwa, akan sangat tergantung pada cara pandang seseorang dan mungkin juga pada faktor kepentingan pribadi/kelompoknya. Coba kita lihat. Seperti kita ketahui, secara garis besarnya, ada dua pandangan yang bersebrangan dan hasilnya penilainnya pun tentu akan bertolak belakang:
(1) Pandangan “Islam liberal” yang melihat masalah agama adalah urusan pribadi, sedangkan urusan publik harus diatur negara dengan hukum publik yang memayungi semua aliran/kelompok/kepentingan.
(2) Pandangan "Islam kaffah", yang melihat agama mengatur seluruh aspek kehidupan, baik pribadi, sosial dan politik, dengan menjunjung tinggi sikap toleran pada perbedaan pendapat dalam bermazhab dan beragama.
Bagi yang berpandangan pertama, ya lembaga semacam MUI (juga Departemen Agama) harus dibubarkan. Tidak diperlukan. Tapi kalau Anda berada pada pandangan kedua, ya lembaga fatwa semacam MUI diperlukan, karena menurut pandangan ini aturan dalam keberagamaan adalah meliputi segala aspek kehidupan manusia. Ada ungkapan bahwa untuk urusan berhadas saja ada aturannya dalam Islam, apalagi dalam menyangkut politik yang berkaitan dengan hajat hidup banyak orang dan bagi kelangsungan negara tercinta ini.
Rokok Makruh atau Haram?
Masalah rokok? Ya kalau Anda perokok dan merasa tersinggung dengan fatwa itu, ya bisa jadi marah. Terlebih lagi bagi mereka yang menggantungkan periuk nasinya dari rokok, seperti pabrik rokok dan pegawainya, petani tembakau, pedagang, kocek negara dari cukai, dsb. Cuma ya saya kira kurang pada tempatnya juga kalau kita menolak fatwa MUI tentang rokok bukan karena pertimbangan hukum (syar’i), tapi karena kepentingan (duniawi) semata. Setidaknya, bilang aja begini, “Fatwa MUI itu benar, cuma saya belum bisa menjalankannya. Harap maklum.” Tidak bener kan jika Anda memandang halal pelacuran karena alasan nafkah atau kesenangan semata.
Demikian juga dengan Yoga. MUI mengharamkan Yoga kalau menjadi bagian dari ritual agama tertentu di luar Islam. Saya kira fatwa ini hampir mirip fatwa “natalan bersama” yang diharamkan MUI waktu dipimpin buya Hamka.
Kalau Anda berpandangan semua agama adalah sama dan benar semua, ya fatwa tentang Yoga pasti Anda tolak dan dipandang tidak benar. Wong MUI nya aja sudah dianggap gak layak ada, apalagi produk fatwanya. Tapi kalau pandangan Anda bahwa hanya Islam sebagai agama yang benar, ya fatwa tentang Yoga itu relevan dan baik untuk menjaga keimanan/aqidah Anda dalam berIslam.
Jika Anda berpandangan "Islam Kaffah", maka fatwa MUI tentang Golput Haram (jika ada caleg yang dipandang baik dan mampu memikul amanah) patut diperhatikan, karena aktifitas apapun dalam kehidupan ini tak lepas dan sebagai bagian dari agama. Maka pemilu pun selain sebagai peristiwa negara, juga sebagai peristiwa keagamaan yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan: kenapa memilih, kenapa tidak memilih (golput) dan kenapa milih partai ini atau tokoh itu, semua akan diperhitungkan.
Tapi ada juga yang termasuk dalam barisan "Islam Kaffah" tapi "menolak" fatwa MUI tetang Golput dalam Pemilu, karena sudut pandangnya berada "di luar pagar". Mereka menolak sistem pemerintahan demokrasi (tentunya juga sistem pemilu), karena dipandang tidak sesuai dengan syari'at Islam. Di antara yang berada dalam posisi pandangan semacam ini adalah Hizbut Tahrir dan Majlis Mujahidin Indonesia.
Itu saja yang bisa saya utarakan. Tulisan ini akan saya akhiri dengan obrolan saya dengan teman yang sempat baca postingan ini.
Teman, “Lha sikap kamu sendiri bagaimana?”
Saya, “Soal rokok, saya lebih ekstrim dari MUI yang cuma bilang makruh. Bagi saya, rokok haram hukumnya, seperti yang difatwakan di negara lain.”
Teman, “Alasannya ?”.
Saya, “Rokok perusak kesehatan yang dahsyat. Merokok sama dengan menghisap racun, sama dengan menganiaya diri sendiri. Perokok juga suka mengganggu dan merugikan orang lain sebagai prokok pasif. Dana untuk rokok juga bisa dibilang membakar uang, tak ada manfaatnya, jadi termasuk kategori perbuatan mubazir. Padahal al-Qur’an menegaskan bahwa orang yang suka bermubazir ria itu temannya syetan yang dilaknat dan terkutuk. Uang untuk rokok lebih baik dibelanjakan untuk hal bermanfaat dan bermakna, atau untuk bersedekah. Masih banyak yang memerlukan bantuan.”
Teman, “Kalau kamu jadi ketua MUI akan mengharamkan rokok? lebih gawat lagi dong dampaknya?”
Saya, “Kalau saya jadi ketua MUI, fatwa pertama yang akan bahas adalah tentang hukum menghujat dan memaki Ulama. ”
Teman, "Hahaha, itu sih udah pasti, fatwanya haram."
Sampai di sini, otak saya terasa buntu, mulut pun asem. Mau beli rokok dulu. Harap maklum. Wassalam.