Menimbang Keberadaan MUI dan Fatwa Ulama

Postingan ini kelanjutan dari yang sebelumnya tentang "Obral Fatwa MUI" (di sini). Yaitu komentar saya terhadap acara To day’s Dialogue di Metro TV pada 4 Februari 2009, malam. Akhir-akhir ini kritik dan hujatan terhadap MUI, bukan hanya terhadap fatwanya, malah terhadap keberadaan MUI dan perlu tidaknya fatwa ulama.

Sekilas tentang MUI

Dalam situs resmi MUI dijelaskan:
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.

Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math'laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.

Dari musyawarah tersebut, dihasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. Zu’ama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah "PIAGAM BERDIRINYA MUI", yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.

Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:

1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti).
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al-ummah).
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid.
5. Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar.

Demikianlah sekilas tentang Majelis Ulama Indonesia. Uraian selengkapnya dapat dilihat di sini

MUI = Ulama Istana?

Saya kira betul apa yang disinyalir Moqsith, dalam acara dialog di Metro TV, pembentukan MUI dinilai sebagai media komunikasi pemerintahan Soeharto terhadap ummat Islam. Bahkan lebih dari itu, saat MUI berdiri, ada yang menilai sebagai model rekayasa sosial Soeharto untuk melegitimasi kebijakan pemerintah. Ulama MUI dinilai sejenis “ulama istana” sebagai tukang stempel kebijakan penguasa.

Keraguan terhadap keberadaan MUI saat itu dapat ditepis/dieliminir, karena Buya Hamka yang tampil sebagai ketuanya. Dan memang terbukti, Buya Hamka memilih mudur dari jabatan ketua umum MUI (pada 21 Mei 1981) ketimbang merubah fatwa MUI saat itu yang mengharamkan “Natalan Bersama” bagi ummat Islam. Fatwa itu rupanya tidak sejalan dengan pandangan pemerintah yang tengah mengkampanyekan toleransi beragama versi pemerintah (Menteri Agama saat itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara). Hamka memberikan contoh sikap independen ulama (MUI) dalam mengambil keputusan fatwa. (Tentang Hamka, lihat di sini).

Saya kira, tidak pada tempatnya jika alasan untuk membubarkan MUI hanya karena MUI bikinan Orde Baru (Soeharto). Kita sadari tidak semua bentukan Orde Baru jelek dan harus dibuang. Sekedar contoh, program Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang tidak dikembangkan karena bikinan Soeharto, sekarang mulai disadari pentingnya untuk melayani kesehatan masyarakat. Terutama setelah banyak kasus bayi kurang gizi yang tidak terpantau. Demikian juga dengan program Keluarga Berencana. Pepatah bilang, meskipun keluar dari dubur ayam, kalau telor, bermanfaat juga.

Fatwa MUI/Ulama tidak Dipatuhi Ummat?

Belum ada survey serius yang memantau seberapa besar tingkat kepercayaan dan kepatuhan ummat Islam terhadap fatwa MUI, termasuk tentang sertifikasi label halal yang selama ini ditangani MUI.

Saya pribadi merasa terbantu dengan label halal tersebut. Merasa mudah dan aman dalam mengkonsumsi makanan yang halal, tidak usah susah payah menilai komposisi kandungan suatu produk (seperti yang diusulkan Moqsith) yang seringkali tidak saya fahami dan hurufnya kecil sekali. Dengan lebel halal, produsen/pengusaha menjadi sadar dan terkontrol untuk memperhatikan kehalalan produknya dan menghargai ummat Islam sebagai (calon) konsumen terbesarnya.

Memang sepintas kita bisa lihat beberapa fatwa MUI tidak diindahkan, seperti tentang haramnya bunga bank dan SMS berhadiah (yang jelas-jelas judi) di televisi. Tapi tampaknya ini bukan hanya gejala pada fatwa MUI, juga dialami pada fatwa Bahsul Masail NU yang memfatwakan haramnya acara infotainment yang dinilai ghibah (menggunjing). Mungkin juga dialami lembaga fatwa atau ulama dalam kasus lainnya.

Kalaupun fatwa ulama disinyalir tidak efektif, tidak dipatuhi ummat atau anggota ormas Islam, tidak lantas harus menghentikan atau menutup adanya fatwa Ulama. Atau langsung menilai bahwa fatwa ulama tersebut salah atau tidak pantas. Dengan logika semacam itu, kita mempertanyakan: Apakah kalau di suatu tempat orang pada malas dan tidak mau lagi shalat berjamaah, lantas masjid itu harus ditutup? Tidak benar kan? Tentunya lebih salah lagi jika terus mengambil langkah untuk “mendelet” (menghapus) kewajiban shalat karena dipandang sudah tidak disukai, tidak diperlukan atau tidak sesuai lagi dengan kehendak/selera perkembangan zaman. Kewajiban kita, adalah membuat program supaya ummat rajin shalat, dan lebih utama dengan berjama’ah, apakah dengan program penataan desain dan perlengkapan masjidnya biar nyaman, melakukan penyadaran (dakwah) tentang shalat sebagai salah satu kewajiban utama dalam Islam, dsb. Tidak pada tempatnya juga jika ketentuan hukum Islam (syari'at) yang qoth'i/pasti/jelas harus "didelet" karena alasan hasil sebuah survey. Malah menjadi tantangan bagi pemuka agama untuk melakukan sosialisasi dan internalisasi ajaran Islam (berdakwah) dengan lebih bijak dan baik.

Demikian juga dengan MUI, atau fatwa ulama pada umumnya. Jika Fatwa tidak lagi didengar, sebaiknya kita melakukan evaluasi ke dalam. Bermawas diri. Kenapa suara ulama tidak lagi didengar, bahkan dihujat dan dicaci-maki (sebagian) ummat? Adakah wibawa moral atau keilmuan ulama sudah sedemikian menurun? Apakah memang sebagai imbas dari prilaku masyarakat sekarang yang bertambah sangar dan beringas? Apakah metode/cara pengambilan keputusan dalam berfatwa selama ini kurang baik? Kenapa ummat tidak lagi peduli dengan aturan ketentuan hukum dalam beragama? Apakah kurang sosialisasi sehingga kesadaran agama (keislaman) ummat sudah sedemikian rapuh? Bisa juga karena memang fatwa tidak benar, kurang pantas atau bias pada kepentingan kelompok tertentu saja atau memihak selera penguasa/sponsor? Dan pertanyaan lainnya.

Saya kira kalau ada fatwa MUI atau fatwa lembaga sosial Islam lainnya dipandang tidak tepat atau salah, akan lebih baik kalau membuat fatwa tandingan. Kalau MUI dipandang tidak kredibel, lebih baik bagi kalangan yang anti MUI membuat lembaga fatwa tandingannya. Semakin banyak pilihan, saya kira semakin baik. Biarkan ummat memilihnya di “pasar bebas”. Bukankah masyarakat kini sudah semakin terbiasa dan toleran dengan perbedaan pendapat antar Mazhab, setidaknya 4 Mazhab yang kita kenal dan diakui kalangan Sunny (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali). Bukankah diantara prinsip utama dalam berdemokrasi adalah memberikan ruang seluas-luasnya bagi setiap orang untuk berpendapat, tentunya juga untuk berfatwa dalam urusan agama. Sekalian mendidik masyarakat untuk terbiasa berdiskusi, berdebat, dan menghargai perbedaan. Bukan dengan menghujat dan memaki tanpa argumen.

Buruk muka, MUI digusur?

Untuk negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, saya kira sudah selayaknya Indonesia punya lembaga fatwa semacam MUI. Kalaupun MUI masih banyak kekurangannya, bukan lantas dibubarkan. Sikap paling bijak adalah berupaya memperbaiki atau menyempurnakannya. MUI juga memang perlu dikritisi dan dikontrol. Lembaga semacam MUI bisa menjadi “payung”, fungsi koordinasi, fasilitator atau mediasi dari beberapa lembaga fatwa dan kalangan cendekiawan Muslim yang bertebaran dan beragam di Indonesia. Tapi jangan sampai buruk muka, MUI digusur. Kalaupun sekarang pengurus MUI dinilai tidak sebaik atau seindependent Buya Hamka, bukan MUI nya yang harus dibubarkan, tapi mungkin kepengurusan atau sistemnya yang harus direfisi atau direformasi.

Kenapa lembaga sosial keagamaan (Islam) punya lembaga fatwa? Karena memang dalam Islam ada ketentuan syar’i dalam menjalani kehidupan ini. Dan para pemeluk Islam yang taat ingin menjalani kehidupannya sesuai ketentuan syari’at. Di Muhammadiyah ada Lembaga Tarjih; NU punya Bahsul Masail, dan PERSIS punya Dewan Hisbah.

Kalau ada pengamat Islam merasa ummat Islam sekarang tidak perlu lagi fatwa ulama, saya kira sebaiknya dilihat dulu, ummat yang mana? Secara sekilas dapat kita amati, dalam beberapa acara interaksi tayangan ceramah Islam di televisi atau radio, kita sering mendengar pemirsa yang bertanya (minta fatwa) tentang hukum sesuatu yang kedengarannya "sepele": apakah kalau (maaf) kentut di dalam air, atau masih makan ketika imsak, membatalkan puasa? Pertanyaan semacam itu memang terkesan naif, tapi jangan-jangan lapisan terbesar dari pemeluk Islam Indonesia adalah mereka yang terkesan naif tersebut. Mereka yang sering dinilai sebagai Islam Tradisional atau Ortodok. Mereka yang menjalani kehidupannya yang sederhana ingin sesuai dengan aturan syari’at Islam yang simple dan praktis. Mereka adalah kalangan “Ummi Maktum”, orang buta dan terkesan papa yang membuat Rasulullah ditegur Allah karena mengacuhkannya (lihat al-Qur'an, surat ‘Abasa/80). Allah mengingatkan orang semacam Ummi Maktum itulah yang sebenarnya punya ketulusan dalam berIslam, yang lebih butuh pengajaran, wejangan atau fatwa dari Rasulullah. Di sisi Allah, Ummi Maktum ternyata lebih mulya dan perlu disapa, dibanding para pemuka, kalangan elite dan intelektual Quraisy yang hatinya telah mengeras menolak Islam. Kalangan yang tengah manggung di pentas arena peradaban modern yang kadang membuat kita silau pada tampilan luarnya yang artificial. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar: