Obral Fatwa MUI

Judul postingan di atas, adalah tema acara “To Day's Dialogue” Metro TV pada 4 Februari 2009, malam. Tayangan lengkapnya bisa dilihat di sini:
http://www.metrotvnews.com/todaysdialogue/topics.php?id=2309&idp=34

Tema dialog tersebut dengan jelas menampilkan sikap penolakan Metro TV terhadap Fatwa MUI. Tak heran jika seorang teman berkomentar, acara dialog itu lebih mengesankan “mengadili” Ketua MUI, Kiyai Ma’ruf Amin, dihadapan tiga pemuda yang kontra terhadap fatwa dan bahkan terhadap keberadaan MUI, yaitu: Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) yang juga dosen Universitas Paramadina, Abd. Moqsith Ghazali; Aktifis Intelektual Muda Muhammadiyah, Abd. Mukti; dan Sekjen Gerakan Pemuda Anshor, Malik Haramain. Tak kalah gencarnya moderator dialog, Kania, yang mengajukan pertanyaan tandas kepada Pak Kiyai.

Menarik untuk mengomentari acara dialog tersebut, karena mewakili suara dari yang kontra terhadap fatwa MUI dan bahkan terhadap keberadaan MUI.

Alasan yang mengada ada?

Moqsith Ghazali mengajukan argumen penolakannya terhadap fatwa MUI tentang rokok:
1. Bukan hanya rokok yang bisa haram, makanan apapun bisa haram jika mendatangkan madharat/penyakit, seperti gula yang kalau kebanyakan bisa menyebabkan sakit gula.
2. MUI kurang peka terhadap masalah sumber pendapatan masyarakat, karena fatwa itu akan menggulung/mematikan pabrik rokok dan karyawannya, juga petani tembakau.

Argumen keberatan terhadap fatwa rokok ini ditambah oleh Abd. Mukti:
3. Banyak mahasiswanya di tempat dia ngajar yang mendapat beasiswa dari perusahaan rokok, dan Mukti, katanya, suka menonton tayangan sepak bola di televisi berkat sponsor pabrik rokok.

Saya ingin mengomentari argumen saudara Moqhsit dan Mukti yang terkesan hanya mencari cari, atau mengada-ada serta kurang mendasar.

Pertama, memang semua makanan dan perbuatan apapun kalau berlebihan akan mendatangkan penyakit atau mudharat. Sikap berlebihan atau melampauai batas ini dalam Al-Quran disebut “israf” yang dilarang.
Dalam al-Qur’an ditegaskan: “Janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S Al-Baqarah (2): 190). Lihat juga Al-A’raf (7): 55.
Dalam konteks makanan, kita temukan dalam Qur’an, surat Thaha (10): 81 “Makanlah diantara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaanKu menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa kemurkaanKu, maka sesungguhnya binasalah ia.”

Bahaya rokok, seperti halnya khamar (minuman yang memabukkan) karena jenis baranganya yang memang membahayakan, bukan karena berlebihan dalam mengkonsumsinya (tentunya, apalagi kalau berlebihan). Bisa membahayakan kesehatan pribadi dan orang lain. Disamping juga dinilai sebagai perbuatan mubazir/sia-sia dengan membelanjakan uang untuk hal yang tidak bermanfaat.

Kedua, memang rokok mendatangkan manfaat, seperti halnya minuman keras sebagai kegiatan ekonomi masyarakat, dan perjudian yang mendatangkan pemasukan bagi kas negara atau untuk kegiatan sosial seperti sepak bola yang pernah dipraktikkan KONI. Dalam hal ini Al-Qur’an juga mengakui akan manfaat dari perbutan terlarang tersebut, seraya menegaskan bahwa madharatnya lebih besar dari manfaatnya. Karena itu harus ditinggalkan. Firman Allah:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar (minuman yang memabukkan) dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Q.Surat Al-Baqarah (2): 219.

Dalam literatur hukum Islam kita mengenal bahwa minuman keras sudah membudaya di masyarakat Arab saat itu (dan tentu menjadi sumber mata pencaharian/ekonomi masyarakat). Karena itu ayat Al-Quran turun secara bertahap dengan terlebih dulu bersifat peringatan akan bahaya/madharat khamar, sebelum dengan tegas mengharamkannya. Seperti dijelaskan Kiyai Ma’ruf, ulama berbeda pendapat dalam hal rokok, ada yang mengharamkan dan ada yang berpendapat hanya makruh. Kalau sekarang MUI memfatwakan makruh pada rokok, kata Kiyai Ma’ruf adalah sebagai sikap arif dan bijak MUI karena rokok masih menjadi mata pencaharian banyak orang di Indonesia. Dalam hal ini ada yang menilai fatwa MUI tentang rokok sebagai fatwa setengah hati. Jadi apakah ada kemungkinan fatwa rokok akan ditingkatkan menjadi haram, seperti yang difatwakan di Arab Saudi dan Malaysia?

Saya kira, sangat naif jika ketentuan syar’i (ketetapan hukum), bisa dieliminir atau ditolak karena alasan nafkah atau sebagai sumber ekonomi yang menguntungkan. Dalam postingan saya sebelumnya, di sini, saya bilang:

Masalah rokok? Ya kalau Anda perokok dan merasa tersinggung dengan fatwa itu, ya bisa jadi marah. Terlebih lagi bagi mereka yang menggantungkan periuk nasinya dari rokok, seperti pabrik rokok dan pegawainya, petani tembakau, pedagang, kocek negara dari cukai, dsb. Cuma ya saya kira kurang pada tempatnya juga kalau kita menolak fatwa MUI tentang rokok bukan karena pertimbangan hukum (syar’i), tapi karena kepentingan (duniawi) semata. Setidaknya, bilang aja begini, “Fatwa MUI itu benar, cuma saya belum bisa menjalankannya. Harap maklum.” Tidak benar kan jika Anda memandang halal pelacuran karena alasan nafkah atau kesenangan semata.

Fatwa MUI memang tidak mengikat, hanya himbauan moral. Pada akhirnya semua terpulang pada Anda. Bukankah pertanggungjawaban Anda dengan Tuhan adalah urusan pribadi Anda nanti. Fatwa MUI hanya sebagai salah satu pilihan bagi Anda mengenai ketentuan hukum suatu masalah yang Anda temui atau tengah Anda hadapi. Wallahu 'alam

Dialog Metro TV malam itu, juga mengulas tentang manfaat tidaknya Fatwa MUI dan layak tidaknya keberadaan MUI. Hal ini akan saya ulas dalam tulisan/posting berikutnya.

Tidak ada komentar: