Cara Pandang Pro-Kontra Fatwa MUI


Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali mengeluar fatwa. Kali ini ada tiga fatwa yang mendapat sorotan publik, yaitu tentang: sikap tidak memilih (golput) dalam Pemilu, tentang rokok, dan yoga. Seperti fatwa sebelumnya yang memutuskan Ahmadiyah sebagai sesat, fatwa MUI kali inipun menuai pro dan kontra. MUI dikecam, dihujat, dicaci, dan usulan untuk membubarkan MUI pun kembali diteriakkan. Kerasnya sikap yang menolak, bisa diduga akan memancing sikap keras pula dari yang pro. Perang argumen dan ayat serta hadits pun kerap kita saksikan akhir akhir ini, semenjak rancangan undang-undang tentang pornografi digulirkan.

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas materi fatwa. Saya tidak punya kapasitas untuk menilai. Terlebih lagi, MUI pun belum meng-SK-kan fatwanya, sehingga pertimbangan hukum dari fatwa tersebut belum bisa dilihat.

Ulama, MUI, dan Fatwa

Dalam KBBI (kamus) dijelaskan, ulama adalah “orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam”. Karena berkaitan dengan urusan agama, maka nilai-nilai keagamaan pun harus tercermin dalam dirinya. Dengan kata lain, selain berilmu, ulama juga harus berakhlak, punya wibawa moral sebagai orang baik, terpercaya, dan amanah. Ulama adalah tempat orang bertanya tentang hukum suatu masalah yang dia hadapi, tentang apa saja. Karena itulah maka ulama disebut sebagai pewaris para nabi (warasatul anbiya), dalam posisinya sebagai pemutus perkara hukum. Sebagai penerus Nabi, ulama juga diharapkan menjadi semacam "pengawal moral" yang bisa diteladani. Tentu saja, ulama berbeda dengan Nabi. Karena Nabi dibimbing wahyu ilahi sehingga punya otoritas kebenaran mutlak dalam memutus perkara hukum. Sedangkan produk fatwa ulama yang bersifat ijtihadi masih bisa diperdebatkan dan memungkinkan untuk dikoreksi. Malah Nabi mengingatkan ada jenis ulama su’, yaitu orang yang dengan pengetahuan agamanya malah membuat fatwa yang menyesatkan atau menjual agama. Bisa diterjemahkan, ulama su' sebagai ulama keblinger. Ada juga sebutan “ulama istana”, yaitu ulama yang tugasnya melegitimasi (baca: tukang stempel) pandangan atau kebijakan penguasa dengan alasan/dalil agama. Ulama yang terkooptasi dan menghamba pada kekuasaan/kepentingan sponsor. Sebagaimana intelektual, pemihakan ulama adalah pada "kebenaran". Info tentang MUI selengkapnya dapat dilihat di Web MUI

Lembaga sosial keagamaan (Islam) juga punya lembaga fatwa. Karena memang dalam Islam ada ketentuan syar’i dalam menjalani kehidupan ini. Seperti di Muhammadiyah ada Lembaga Tarjih; NU punya Bahsul Masail, dan PERSIS punya Dewan Hisbah.

Jadi, tugas MUI dalam mengeluarkan fatwa sebenarnya sangat sederhana. Ia melakukan tugas “keulamaannya” dalam menjawab permohonan fatwa (pandangan hukum) terhadap suatu masalah hukum. Produk fatwanya pun tidak mengikat dan tanpa sanksi apapun jika tidak dijalankan atau diamalkan. Lebih bersifat himbauan moral.

Anda masih ingat, ketika Bahsul Masail NU memfatwakan haram acara semacam info tainment di televisi, karena termasuk ghibah (menggunjing) yang dilarang dalam Islam. Demikian juga fatwa MUI yang menghamkan bunga Bank. Ternyata hanya rame sebentar, lalu semua berjalan seperti sedia kala, masing-masing kembali dengan dunia dan pandangannya. Tentunya ada banyak contoh fatwa lainnya yang tidak berjalan atau dipatuhi ummat. Jadi tugas lembaga fatwa hanya mengeluarkan fatwa, selanjutnya terserah Anda.

Jadi kalau Anda mendengar ada fatwa dari MUI, lalu menurut Anda tidak benar, ya cuekin aja. Selesai. Anda dijamin bisa tetap melenggang dengan aman tanpa ancaman dan hukuman karena menolak fatwa MUI. Pertanggungjawaban Anda adalah urusan Anda pribadi dengan Tuhan. Lalu kenapa diributkan?

Dalam hal ini, kita bisa membedakan fatwa yang menyangkut urusan pribadi dan yang bersinggungan dengan masalah/kepentingan sosial, termasuk politik. Fatwa di ranah publik inilah yang bisa menimbulkan/mengundang masalah dan menjadi debat publik, malah kadang mengundang konflik.

Sebuah fatwa MUI bisa kita dilihat dari beberapa segi:
1. Materi/masalah yang difatwakan.
2. Produk fatwanya,
3. Argumen atau dalil yang mendasari lahirnya fatwa,
4. Dampak dari fatwa bagi kehidupan pribadi, sosial, ekonomi, politik dsb

Kita juga bisa melihat latar belakang materi yang dibahas. Anda bisa amati, apakah ada motif politik atau kepentingan tertentu yang melatarbelakanginya. Adakah motif ini mempengaruhi argumen/dalil yang dijadikan dasar pertimbangan menetapkan fatwa, dan produk fatwanya.

Cara Pandang Menilai Fatwa

Dalam menilai fatwa, akan sangat tergantung pada cara pandang seseorang dan mungkin juga pada faktor kepentingan pribadi/kelompoknya. Coba kita lihat. Seperti kita ketahui, secara garis besarnya, ada dua pandangan yang bersebrangan dan hasilnya penilainnya pun tentu akan bertolak belakang:

(1) Pandangan “Islam liberal” yang melihat masalah agama adalah urusan pribadi, sedangkan urusan publik harus diatur negara dengan hukum publik yang memayungi semua aliran/kelompok/kepentingan.
(2) Pandangan "Islam kaffah", yang melihat agama mengatur seluruh aspek kehidupan, baik pribadi, sosial dan politik, dengan menjunjung tinggi sikap toleran pada perbedaan pendapat dalam bermazhab dan beragama.

Bagi yang berpandangan pertama, ya lembaga semacam MUI (juga Departemen Agama) harus dibubarkan. Tidak diperlukan. Tapi kalau Anda berada pada pandangan kedua, ya lembaga fatwa semacam MUI diperlukan, karena menurut pandangan ini aturan dalam keberagamaan adalah meliputi segala aspek kehidupan manusia. Ada ungkapan bahwa untuk urusan berhadas saja ada aturannya dalam Islam, apalagi dalam menyangkut politik yang berkaitan dengan hajat hidup banyak orang dan bagi kelangsungan negara tercinta ini.

Rokok Makruh atau Haram?

Masalah rokok? Ya kalau Anda perokok dan merasa tersinggung dengan fatwa itu, ya bisa jadi marah. Terlebih lagi bagi mereka yang menggantungkan periuk nasinya dari rokok, seperti pabrik rokok dan pegawainya, petani tembakau, pedagang, kocek negara dari cukai, dsb. Cuma ya saya kira kurang pada tempatnya juga kalau kita menolak fatwa MUI tentang rokok bukan karena pertimbangan hukum (syar’i), tapi karena kepentingan (duniawi) semata. Setidaknya, bilang aja begini, “Fatwa MUI itu benar, cuma saya belum bisa menjalankannya. Harap maklum.” Tidak bener kan jika Anda memandang halal pelacuran karena alasan nafkah atau kesenangan semata.

Demikian juga dengan Yoga. MUI mengharamkan Yoga kalau menjadi bagian dari ritual agama tertentu di luar Islam. Saya kira fatwa ini hampir mirip fatwa “natalan bersama” yang diharamkan MUI waktu dipimpin buya Hamka.

Kalau Anda berpandangan semua agama adalah sama dan benar semua, ya fatwa tentang Yoga pasti Anda tolak dan dipandang tidak benar. Wong MUI nya aja sudah dianggap gak layak ada, apalagi produk fatwanya. Tapi kalau pandangan Anda bahwa hanya Islam sebagai agama yang benar, ya fatwa tentang Yoga itu relevan dan baik untuk menjaga keimanan/aqidah Anda dalam berIslam.
Jika Anda berpandangan "Islam Kaffah", maka fatwa MUI tentang Golput Haram (jika ada caleg yang dipandang baik dan mampu memikul amanah) patut diperhatikan, karena aktifitas apapun dalam kehidupan ini tak lepas dan sebagai bagian dari agama. Maka pemilu pun selain sebagai peristiwa negara, juga sebagai peristiwa keagamaan yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan: kenapa memilih, kenapa tidak memilih (golput) dan kenapa milih partai ini atau tokoh itu, semua akan diperhitungkan.
Tapi ada juga yang termasuk dalam barisan "Islam Kaffah" tapi "menolak" fatwa MUI tetang Golput dalam Pemilu, karena sudut pandangnya berada "di luar pagar". Mereka menolak sistem pemerintahan demokrasi (tentunya juga sistem pemilu), karena dipandang tidak sesuai dengan syari'at Islam. Di antara yang berada dalam posisi pandangan semacam ini adalah Hizbut Tahrir dan Majlis Mujahidin Indonesia.

Itu saja yang bisa saya utarakan. Tulisan ini akan saya akhiri dengan obrolan saya dengan teman yang sempat baca postingan ini.

Teman, “Lha sikap kamu sendiri bagaimana?”
Saya, “Soal rokok, saya lebih ekstrim dari MUI yang cuma bilang makruh. Bagi saya, rokok haram hukumnya, seperti yang difatwakan di negara lain.”
Teman, “Alasannya ?”.
Saya, “Rokok perusak kesehatan yang dahsyat. Merokok sama dengan menghisap racun, sama dengan menganiaya diri sendiri. Perokok juga suka mengganggu dan merugikan orang lain sebagai prokok pasif. Dana untuk rokok juga bisa dibilang membakar uang, tak ada manfaatnya, jadi termasuk kategori perbuatan mubazir. Padahal al-Qur’an menegaskan bahwa orang yang suka bermubazir ria itu temannya syetan yang dilaknat dan terkutuk. Uang untuk rokok lebih baik dibelanjakan untuk hal bermanfaat dan bermakna, atau untuk bersedekah. Masih banyak yang memerlukan bantuan.”
Teman, “Kalau kamu jadi ketua MUI akan mengharamkan rokok? lebih gawat lagi dong dampaknya?”
Saya, “Kalau saya jadi ketua MUI, fatwa pertama yang akan bahas adalah tentang hukum menghujat dan memaki Ulama. ”
Teman, "Hahaha, itu sih udah pasti, fatwanya haram."

Sampai di sini, otak saya terasa buntu, mulut pun asem. Mau beli rokok dulu. Harap maklum. Wassalam.

11 komentar:

Anonim mengatakan...

biar gak nyambung lihat videonya Didieu Yeeeh

Anonim mengatakan...

Barangkali kita akan setuju pengharaman rokok kalau melihat Video Ini

mencari islam mengatakan...

@masmuz
Untuk bersikap memang perlu nyali dan harga diri yang memadai.

@Anonim
Ada wartawan nulis bahaya rokok dan pelukis yang bikin poster anti rokok: sambil merokok.
Antara setuju fatwa rokok dengan berhenti rokok memang lain ya. Susah untuk berubah kalau sudah nyandu, alias diperbudak. hehehe.

Anonim mengatakan...

mas-mas semua mungkin perlu juga melihat 'dialog today' di Metro TV antara 1 orang 'sepuh' KH. Ma'ruf Amin melawan 4 orang muda-mudi : Moderator Metro TV Kania S (saya tidak melihat beliau sebagai moderator, justru ikut menyerang sang 'sepuh'), Kordinator JIL Muqsit Ghazali (seperti biasa, beliau bicara bisa membuat orang terpukau padahal seringkali lemah argumen. bisa dilihat ketika sang sepuh menyerang balik beliau gelagapan), Cendekiawan Muda Muhammadiyah, Abd. Mu'thi (Kelihatan cerdas, tapi saya lihat sama seperti muqsit), Sekjen GP Anshor, Malik haramain (beliau ini tidak menggebu2, mungkin sadar dia perokok yang tahu diri).Lebih lengakap tonton aja dehdi sini

mencari islam mengatakan...

@ahmad irwanto
Judul dialog di Metro tv tersebut: "Obral Fatwa MUI". Dari judul ini saja sudah jelas kemana arah kebijakan, pandangan dan orientasi Metro dalam menyikapi Fatwa MUI, terutama tentang rokok. Objektifitas media memang tak lepas dari pandangan, kepentingan dan kendali pemilik modal/sponsor. Pada akhirnya memang kembali pada cara pandang masing2 orang dalam menilai fatwa MUI tersebut.
Tapi, bagi saya, dialog semacam ini sangat menarik, ada adu argument yang memperkaya wawasan kita, daripada sekedar hujatan atau kecaman.
Terima kasih Mas atas kunjungan dan commentnya.

Mualaf Menggugat mengatakan...

cara penyajian yang berusaha menyeluruh. hehehe... ;)

Anonim mengatakan...

Andaikan makhluk yang bernama fatwa sudah sejak dulu menemani bangsa Indonesia, tentu masyarakat kita menjadi terbiasa bergaul dengannya sehingga tidak mudah uring-uringan seperti yang hari-hari ini terjadi.

Misalnya pada awal 1900-an kaum ulama melontarkan fatwa bahwa Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia itu wajib hukumnya (sehingga tidak bangkit itu haram hukumnya). Demikian juga mempersatukan seluruh pemuda Indonesia itu fardhu kifayah (semua orang tidak bersalah asal ada sebagian yang menjalankannya).

Sumpah Pemuda itu fardhu ?ain, kewajiban bagi setiap orang, kalau tidak bersumpah bergabung dalam persatuan Indonesia haram hukumnya. Berikutnya begitu Hiroshima-Nagasaki dibom atom, ulama Indonesia sigap melontarkan fatwa bahwa memproklamasi kan kemerdekaan Republik Indonesia itu wajib sehingga masuk neraka bagi siapa saja yang menolak 17 Agustus 1945.

Lantas diikuti oleh ratusan atau bahkan ribuan fatwa berikutnya: demokrasi itu wajib (meskipun di dalamnya ada komunisme itu haram). Tidak menaati UUD 1945 itu haram. Konstituante dan Piagam Jakarta dicari formula fatwanya. Katakanlah sejak pra-Kebangkitan Nasional hingga era Reformasi sekarang ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menelurkan lebih dari 5.000 fatwa.

Makhluk Suci dari Langit

Sementara kita simpan di laci dulu perdebatan tentang positioning antara negara dengan agama. Kita istirahat tak usah bergunjing ulama itu sejajar dengan umara (pemerintah) ataukah di atasnya ataukah di bawahnya. Juga kita tunda menganalisis lebih tinggi mana tingkat kekuatan fatwa kaum ulama dibandingkan undang-undang dan hukum negara.

Entah apa pun namanya makhluk Indonesia ini: negara sekuler, demokrasi religius, kapitalisme sosialis atau sosialisme kapitalis,atau apa pun. Kita mengandaikan saja bahwa produk kaum ulama, khususnya MUI, berposisi sebagai inspirator bagi laju pasang surutnya pelaksanaan kehidupan bernegara dan berbangsa.

Sebutlah ulama adalah partner pemerintah. Kaum ulama adalah makhluk suci berasal dari langit, memanggul amanat Allah sebagai khalifatullah fil ardli Indonesia. Kita semua pun bersyukur karena dalam menjalankan demokrasi kita ditemani oleh utusan-utusan Tuhan. Dulu para rasul dengan mandat risalah, para nabi dengan mandat nubuwah, dan para ulama dengan mandat khilafah.

Tidak semua soal kehidupan mampu diilmui oleh akal manusia, maka kita senang Tuhan kasih informasi dan tuntunan, terutama menyangkut hal-hal yang otak dan mental manusia tak sanggup menjangkau dan mengatasinya. Kaum ulama dalam majelisnya terdiri atas segala macam ahli dan pakar.

Ada ulama pertanian, ulama ekologi, ulama perekonomian, ulama kehutanan, ulama kesehatan dan kedokteran, ulama, ulama kesenian dan kebudayaan, ulama fiqih, ulama tasawuf dan spiritualisme, ulama olahraga, dan segala bidang apa pun saja yang umat manusia menggelutinya karena memang seluruhnya itulah lingkup tugas khilafah atau kekhalifahan.

Tradisi Fatwa dalam Negara

Akan tetapi tradisi itu tak pernah ada. Fatwa terkadang nongol dan sangat sesekali. Mendadak ada fatwa tentang golput tanpa pernah ada fatwa tentang pemilu, pilkada, pilpres dengan segala sisi dan persoalannya yang sangat canggih. Tiba-tiba ada fatwa tentang rokok tanpa ada fatwa tentang pupuk kimia, tentang berbagai jenis narkoba, suplemen makanan dan minuman, penggusuran, pembangunan mal, industri, kapitalisasi lembaga pendidikan, serta seribu soal lagi dalam kehidupan berbangsa kita.

MUI mengambil bagian yang ditentukan tanpa pemetaan konteks masalah bangsa, tanpa skala prioritas, tanpa pemahaman konstelasi serta tanpa interkoneksi komprehensif antara berbagai soal dan konteks. Itu pun fatwa membatasi diri pada "benda". Makan ayam goreng halal atau haram? "Dak tamtoh," kata orang Madura. Tak tentu. Tergantung banyak hal. Kalau ayam curian, ya haram.

Kalau seseorang mentraktir makan ayam goreng sementara teman yang ditraktirnya hanya dikasih makan tempe, lain lagi hukumnya. Makan ayam goreng secara demonstratif di depan orang berpuasa malah bisa haram, bisa makruh, bisa sunah. Haram karena menghina orang beribadah. Makruh karena bikin ngiri orang berpuasa.

Sunah karena dia berjasa menguji kesabaran orang berpuasa. Beli sebotol air untuk kita minum, halal haramnya tak terletak hanya pada airnya. Kalau mau serius berfatwa perlu dilacak air itu produksi perusahaan apa, modalnya dari uang kolusi atau tidak, proses kapitalisasi air itu mengandung kezaliman sosial atau tidak?

Kalau kencing dan buang air besar mutlak wajib hukumnya. Sebab kalau orang menolak kencing dan beol, berarti menentang tradisi metabolisme tubuh ciptaan Allah SWT. Berzikir tidak wajib, bahkan bisa makruh atau haram. Misalnya suami rajin salat dan berzikir siang malam, istrinya yang setengah mati cari nafkah. Atau kita wiridan keraskeras di kamar ketika teman sekamar kita sedang sakit gigi.

Hak Tuhan

Butuh ruangan lebih lebar untuk menguraikan berbagai perspektif masalah yang menyangkut fatwa. Negara dan masyarakat tak perlu mencemaskan fatwa karena ada jarak serius antara fatwa dengan agama, apalagi antara fatwa dengan negara dan hukumnya. Terlebih lagi jarak antara fatwa dengan Tuhan.

Yang berhak me-wajib-kan, menyunah-kan, me-mubah-kan, memakruh-kan dan meng-haram-kan sesuatu hanya Tuhan. Ulama dan kita semua hanya menafsiri sesuatu. Kalau MUI bilang "rokok itu haram", itu posisinya beliau-beliau berpendapat bahwa karena sesuatu dan lain hal, maka diperhitungkan bahwa Tuhan tidak memperkenankan hal itu diperbuat.

Setiap orang, sepanjang memenuhi persyaratan metodologis dan syar'i, berhak menelurkan pendapat masing-masing tentang kehalalan dan keharaman rokok dan apa pun. Muhammadiyah dan NU pun tidak merekomendasikan pengharaman rokok. Artinya, para ulama dari dua organisasi Islam terbesar itu memiliki pendapat yang berbeda.

Sebelum saya mengambil keputusan untuk mewakili pendapat Tuhan untuk mewajibkan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu hal, sangat banyak persyaratan yang harus saya penuhi. Terutama persyaratan riset, sesaksama mungkin dan ini sungguh persoalan sangat besar, ruwet, luas, detail.

Kemudian andaipun persyaratan itu mampu saya penuhi, saya tidak punya hak untuk mengharuskan siapa pun saja sependapat dengan saya atau apalagi melakukan dan tidak melakukan sesuatu sejalan dengan pandangan saya. Nabi saja tidak berhak mewajibkan siapa pun melakukan salat.

Hak itu ada hanya pada Tuhan, Nabi sekadar menyampaikan dan memelihara kemaslahatannya. Para ulama dan kita semua bisa kelak teruji, ternyata sependapat dengan Tuhan, bisa juga akan terlindas oleh peringatan keras Allah: "Lima tuharrimu ma ahallallohu lak", kenapa kau haramkan sesuatu yang dihalalkan oleh Tuhan untukmu?

Tapi jangan lupa bisa juga terjadi sebaliknya: kenapa aku halalkan yang Allah haramkan? Mungkin benar rokok itu haram dan saya akan masuk neraka karena itu, bersama ulama agung Indonesia Buya Hamka, perokok yang jauh lebih berat dibandingkan saya yang sama sekali tidak nyandu rokok. Juga ada teman saya di neraka almarhum Kiai Mbah Siroj Klaten yang hingga usianya 94 tahun merokok empat bungkus sehari. Dengan demikian bangsa Indonesia akan tercatat sebagai pemegang rekor tertinggi masuk neraka karena rokok. (*)

mencari islam mengatakan...

@muallaf menggugat
Akhirnya muncul juga comment Mbak. Berusaha menyeluruh? kayanya iya, meskipun tidak berhasil, kayanya, hehehe.
Terima kasih Mbak untuk kunjungan dan udah mau baca postingan saya.

mencari islam mengatakan...

@ Cak Nun
Walah, blog saya kedatangan (tulisan) Cak Nun. Saya coba untuk membuat catatan. Agak panjang kayanya.

Fatwa barang baru di Indonesia? Saya kira tidak. Ulama, Kiyai atau Ustad sudah biasa jadi tempat bertanya tentang hukum suatu masalah. Perbedaan antar kiyai pun biasa kita temukan, seperti soal kunut sahalat subuh, tahlilan bagi yang wafat, jumlah rakaat tarawih, dsb. Ada pro kontra yang kadang juga memancing konflik. Dalam sejarah Islam kita mengenal Mufti, sebagai “tukang fatwa”. Muhammadiyah, NU dan PERSIS juga punya lembaga fatwa, seperti MUI. Karena kompleksititas masalah yang berkembang, maka fatwa pun dilembagakan, dan ijtihadnya dilakukanlah secara kolektif dengan mengundang ahli di bidang masalah yang dibahas. Lembaga fatwa juga kadang berperan sebagai lembaga kajian/penelitian yang berkaitan dengan hukum. Untuk mengatur lalu lintas di ranah publik yang riuh dengan berbagai kepentingan memang diperlukan aturan hukum jelas dengan lembaga pelaksananya yang punya otoritas untuk “memaksa” dalam melaksanakan sanksinya. Hakim jadi semacam wakil Tuhan dalam melaksanakan aturan-Nya. Tugas mulia yang sangat berat.

Hukum memang menangani hal yang kasat mata, ucapan dan perbuatan, juga menyangkut benda/barang. Dalam fiqih, ada juga dibicarakan masalah “niat”, tapi berkaitan dengan kesadaran hati/motivasi dalam “beribadah”. Niat bersifat pribadi/personal yang tak bisa dikontrol atau terkena sanksi hukum.

Untuk masalah yang menyangkut kepatutan dan kelayakan di luar hukum, dalam Islam kita mengenal yang namanya akhlak. Saya kira akhlak berada “di atas hukum” dalam hal tingkat kesadaran beragama seseorang. Akhlak bukan lagi bicara benar-salah, halal dan haram yang kasat mata seperti dalam hukum. Wilayahnya “lebih peka” dan mendalam dari itu. Dalam akhlak kita kenal aturan tentang kelayakan, kepatutan dan kesantunan, bahkan keindahan dalam ucapan, prilaku dan kebersihan hati.

Fatwa memang wilayah ijtihadi yang memungkinkan untuk berbeda hasilnya, bisa diperdebatkan, ada pro dan kontra. Bisa salah bisa juga benar, atau mendekati diantara keduanya. Karena itu, urusan yang menyangkut surga dan neraka, hanya Allah yang Maha Tahu. Menadi hak preogratif-Nya. Jangankan bagi perokok, Nabi pun mengingatkan ada orang yang dipandang syahid dalam peperangan oleh para shahabat, ternyata kata Nabi dia di neraka tempatnya, karena niatnya dalam berperang melenceng. Bukankah esensi kehadiran Nabi adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia, bukan penegakan hukum.

Demikian sekedar catatan saya. Terima kasih untuk kiriman tulisan Cak Nun yang seperti biasa, renungannya menggugah, menyentil, dan mencerahkan.

Anonim mengatakan...

kalau mau ikutin fatwa (!) MUI yg kepanjangannya Majelis(nya) Ulama (se)Indonesia (betul kan??) silahkan, kalau tidak dan mengikuti yang lain (bukan MUI), silahkan...gitu aja koq repot.

Anonim mengatakan...

2012 dilarang?FREAK!!!